
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Mendambakan lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah hak semua orang. Sudah sewajarnya jika ada yang tidak terima jika lingkungan tempat tinggalnya tercemar dan rusak karena ulah orang-orang yang tak bertanggung jawab. Karenanya, banyak orang mendedikasikan hidupnya sebagai aktivis pegiat lingkungan.
Namun, hari ini mereka yang berjuang untuk melestarikan lingkungan tidak mendapat jaminan perlindungan. Padahal, menurut pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Seperti yang dialami oleh seorang aktivis lingkungan Karimunjawa bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Dia bersama kelompok aktivitasnya hingga 2022 menyuarakan penolakan atas adanya tambak-tambak ilegal di wilayah Karimunjawa, yang keberadaannya telah mencemari lingkungan dan merugikan warga dan para nelayan. Saat ini dia divonis hukuman tujuh bulan penjara dan denda sebesar lima juta rupiah atas tuduhan melakukan ujaran kebencian yang mengandung SARA dan melanggar UU ITE.
Awalnya, pada tanggal 22 November 2022 Danil mengunggah video berdurasi 6:03 detik di akun facebook miliknya. Video tersebut memperlihatkan kondisi pesisir Karimunjawa yang terdampak limbah udang. Dalam komentarnya, dia menuliskan, “Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak yang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan.”
Daniel dilaporkan oleh seorang warga berinisial R ke Polres Jepara (8/2/2023) karena menyebut ‘otak udang’ dalam komentarnya di media sosial. Setelah berkasnya dinyatakan lengkap atau P2 dia pun ditahan pada 23 Januari 2024. Daniel dikenai Pasal 28 Ayat 2 juncto pasal 45a ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE (Kompas.com, 5/4/2024).
Banyak rekan aktivis dan nelayan yang setia mengawal jalannya persidangan Daniel, sambil menyampaikan aspirasi agar Daniel dibebaskan. Vonis yang dijatuhkan kepada Daniel dianggap sebagai kriminalisasi dan upaya pembungkaman terhadap para aktivis pejuang lingkungan. Keputusan pengadilan tersebut dianggap mengecewakan dan jauh dari rasa keadilan.
Memang, secara riil Daniel bukan dihukum atas kegiatannya menolak tambak ilegal yang tak memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Melainkan, dia dijerat pasal karet dengan alasan menyebarkan video tanpa izin dan mengandung kebencian yang menimbulkan keresahan bagi sebagian warna Karimunjawa.
Sungguh aneh hukum yang berlaku di negeri ini. Para aparat hukumnya hanya melihat hate speech yang bisa menyinggung perasaan sebagian orang, tapi tidak mendalami side speech atau hal yang mendasari ujaran kebencian tersebut. Bahwa esensi persoalan sesungguhnya adalah protes terhadap tambak ilegal yang nyata telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan merugikan banyak warga. Karena itu, nantinya kasus ini akan menjadi preseden buruk. Masyarakat yang akan menjadi takut untuk bersuara memperjuangkan hak-hak hidupnya.
Dalam sistem kapitalisme hal seperti ini sering terjadi, meski para aktivis tidak lantas menyerah dan berhenti menyampaikan aspirasi. Negara seolah bergeming melihat berbagai kerusakan lingkungan dan dampak buruk akibat pembangunan atau proyek-proyek milik pengusaha swasta. Apakah itu proyek tambang, tambak, dan perkebunan sawit, asalkan ada nilai keuntungan yang didapatkan, akan dibiarkan. Tak peduli masyarakat sekitar berteriak dan menjerit karena fasilitas kehidupan mereka terusik.
Alam semesta diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sempurna dan seimbang. Manusia sebagai khalifah di dunia diwajibkan menjaga kelestariannya dan dilarang melakukan hal yang dapat merusak lingkungan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 60)
Setiap individu dan masyarakat bisa berupaya melakukan pelestarian alam dan lingkungan sesuai kapasitas yang dimiliki. Semisal, menjaga kebersihan, membuang sampah dengan benar dan mendaur ulang, melakukan penghijauan, dan sebagainya.
Sementara itu, negara sebagai pemegang otoritas kekuasaan, wajib mengatur rakyatnya agar tertib dan tidak melakukan tindakan pencemaran lingkungan, pengrusakan dan perampasan lahan. Selain itu, mengatur agar pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Dalam Islam juga diatur terkait hak pemilikan. Kepemilikan dibagi menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu bisa diartikan sebagai hukum syara’ yang mengatur kemanfaatan dan perolehan individu dari zat yang bisa digunakan baik secara konsumtif atau kegunaannya saja. Harta kepemilikan individu diperoleh dengan bekerja, pewarisan, pemberian dari negara buat rakyatnya dan harta yang didapat tanpa kompensasi untuk kebutuhan hidupnya.
Kepemilikan umum,yaitu apa saja yang diizinkan syara’ untuk digunakan bersama-sama oleh komunitas masyarakat. Dalam hal ini, benda tersebut haram dimiliki oleh individu. Contoh di antaranya, sumber daya alam, barang tambang besar, barang kebutuhan umum berupa air, padang, hutan dan listrik.
Sedangkan kepemilikan negara adalah harta yang secara syara’ ditetapkan sebagai hak seluruh rakyat, tetapi kewenangan pengelolaannya berada di tangan pemimpin atau khalifah untuk kemaslahatan negara dan umat. Sepert,i ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, rikaz dan lainnya. Sekalipun hal yang boleh dikuasai individu, tetap tidak boleh jika dalam pengelolaannya bisa mencemari alam dan mengganggu kepentingan orang lain.
Begitulah pengaturan yang sempurna dalam Islam, seandainya kaum muslimin telah bersedia untuk hidup di bawah naungan sistem Islam. Tidak perlu masyarakat berjuang sendiri dalam menjaga lingkungan karena negara sudah menjamin kelestariannya sebagai amanah mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin.