
Oleh: Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Linimasanews.id—Bumi Cendrawasih masih belum tenang dari keganasan sekelompok orang yang melakukan teror mengerikan. Sampai saat ini aksi bengis mereka makin menjadi-jadi. Pembunuhan dan pemerkosaan kepada guru, nakes, pembunuhan kepada masyarakat, TNI, Polri telah melampaui batas humanisme.
Permasalahan teror gerakan separatis ini belum juga terselesaikan hingga kini. Jika dahulu kelompok itu diberi istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), saat ini gerakan ini kembali disebut dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ini senada dengan yang disampaikan oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto saat menyebut kelompok bersenjata di Papua dengan nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM. Istilah yang sebelumnya dipakai oleh TNI adalah kelompok separatis teroris (KST), sementara Polri menggunakan istilah kelompok kriminal bersenjata (KKB) (detikNews, 12/4/2024).
Menakar Perubahan Istilah
Mengutip tempo.co (20/4/2024), TNI dan Polri tercatat sudah berulang kali mengganti label kelompok bersenjata di Papua. Pada masa pemerintahan Orde Baru, kelompok bersenjata di Papua dinamai OPM. Di masa Reformasi, lima kali pemerintah menggantinya, dari KKB, kelompok kriminal separatis bersenjata, kelompok separatis teroris, hingga kelompok teroris. Meski TNI mengubahnya, kepolisian memilih tetap menggunakan penyebutan KKB.
Sekalipun ini hanyalah masalah istilah, disinyalir perubahan ini akan berpengaruh terhadap masyarakat Papua. Beberapa pandangan dan pendapat mengemuka. Salah satunya yang diingatkan oleh pakar hubungan internasional UGM Dafri Agussalim melalui Kemenlu RI agar waspada terhadap respons dunia internasional dengan memperkuat diplomasi, khususnya dengan negara-negara yang berpotensi memberikan dukungan pada OPM.
Begitu juga pandangan yang diberikan anggota komisi I DPR RI Mayor Jenderal TNI (purnawirawan) TB Hasanuddin. Menurutnya, perubahan penyebutan dapat menimbulkan dampak negatif. Di dunia internasional, nama OPM bisa menimbulkan simpatik dari negara-negara yang mendukung perjuangan Papua Merdeka (Tempo, 12/4/2024).
Butuh mitigasi terkait dampak dari perubahan istilah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Demikian desakan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terhadap pemerintah. Sebab, menurut KontraS, perubahan istilah ini bisa berdampak pada keamanan masyarakat sipil di Papua. Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra pun menyampaikan agar pemerintah tetap mengikuti hukum internasional (Tempo, 12/4/2024).
Kapitalisme Membuat Gerakan Separatis Makin Bengis
Sejatinya kapitalisme merupakan ideologi individualis sekaligus materialistis. Dengan dorongan ini negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris terus-menerus memelihara kepentingan mereka di tempat mana pun yang menguntungkan bagi mereka. Mereka akan terus menanamkan masalah di tempat-tempat yang memberikan profitable, tidak terkecuali di Papua. Mereka ingin pengerukan kekayaan alam di wilayah profit terus berlangsung tanpa gangguan dan hambatan.
Penerapan ekonomi yang bersifat kapitalistis membuat pembangunan hanya bertumpu pada daerah yang perputaran ekonominya bagus. Demikian yang terjadi pada Papua, hanya menjadi wilayah timur yang terasing di tengah melimpahnya SDA di tanahnya. Ada pembangunan pun, nyatanya tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Sekalipun Papua sudah lama menjadi bagian provinsi di negeri ini, nasibnya tidaklah sama dengan provinsi lainnya. Pembangunan tidak merata. Kemiskinan pun masih terjadi. Papua bagai anak yang tak dikasihi.
Sebagai wilayah yang kaya (emas, barang tambang, flora, fauna), pesona indahnya tak seindah perhatian pemerintah dalam membangun Papua. Mayoritas rakyat Papua tetap hidup dalam kemiskinan, bahkan keterbelakangan. Padahal, sudah banyak negara yang punya kepentingan di sana. Inggris, AS, Australia, dan sebagainya memiliki kerakusan untuk mengeruk kekayaan alam yang ada.
Kondisi margin Papua membuat Papua ingin merdeka. Setali tiga uang, negara-negara asing yang selalu mengincar Papua makin mengondisikan Papua untuk tetap tidak kondusif. Dengan dalih kemerdekaan, negara-negara itu akhirnya mendukung upaya OPM untuk merdeka dari Indonesia. Bahkan, salah satu negara diduga menjadi pemasok senjata dan pendukung pendanaan untuk organisasi separatis di Papua. Dukungan asing ini membuat OPM makin berani untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka.
Tragisnya, perjuangan OPM untuk merdeka salah menilai siapa musuh, siapa penolongnya. OPM menampakkan kebengisan yang jauh dari kata humanis. Teror dilakukan, pembunuhan, pemerkosaan menjadi kebiasaan mereka terhadap warga sipil, bahkan terhadap para guru dan tenaga kesehatan (nakes). Bahkan, mereka pun melakukan penembakan terhadap tentara Indonesia hingga menewaskan Danramil Aradide Letda Oktovianus Sogalrey.
Kapitalisme telah menciptakan gerakan separatis makin bengis. Konkretisasi pemerintah menyelesaikan masalah ini harus benar-benar serius. Hanya saja, jika pemerintah berdalih perlunya menggerakkan tentara untuk menumpas pemberontakan, tuduhan sebagai pelanggar HAM didapatkan. Namun, jika tidak dilakukan, bahaya besar mengintai masyarakat Papua yang tak berdosa. Karena itu, sudah tidak bisa lagi bertumpu pada sistem kapitalisme. Sebab, dengan sistem ini, masalah tidak bisa terselesaikan.
Sistem Islam Satu-satunya Harapan
Gerakan separatis yang dilatarbelakangi ketimpangan pembangunan perekonomian adalah hal yang takkan dibiarkan terjadi dalam sistem Islam. Sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kesejahteraan bagi siapa pun. Pembangunan dilakukan secara merata. Islam mewajibkan negara memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, keamanan, hingga infrastruktur yang sama dan memadai. Walhasil, seluruh masyarakat bisa terpenuhi hajat hidupnya, baik sandang, pangan, maupun papan.
Dalam sistem Islam Islam, kas negara (baitul mal) punya sumber pendapatan yang besar, baik dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, hingga pengelolaan SDA. Khusus SDA, negara tidak akan membiarkan swasta, asing, aseng mengeruknya.
Islam mewajibkan negara mengelola SDA secara mandiri dan memanfaatkan hasilnya untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara tidak akan membiarkan AS dan Inggris mendirikan perusahaan tambang sebagaimana saat ini terjadi di Papua. Sudah seharusnya negara segera mengambil alih dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Meskipun Papua mayoritas nonmuslim, dalam sistem Islam, negara tetap menjalankan perannya sebagai pengurus rakyatnya. Negara tetap menjamin semua kebutuhan dan melindungi mereka dari situasi apa pun.
Dalam sistem Islam, jika ada gerakan separatis yang menimbulkan teror, Islam memiliki hukum yang tegas terkait itu. Islam menghukumi sebagai bagian dari bugat (pemberontak), dan bugat dalam Islam adalah haram. Tindakan menumpasnya adalah keharusan. Contoh ini pernah terjadi di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ra.
Dalam sistem Islam, negara dilarang berkompromi dengan negara lain yang jelas-jelas memusuhi Islam. Islam mewajibkan negara independen dalam menyelesaikan permasalahan seperti yang terjadi dengan Papua saat ini. Apa pun istilahnya, KKB atau pun OPM tidak akan terjadi. Rakyat tidak punya latarbelakang untuk melakukan pemberontakan. Islam meniscayakan ketentraman yang menyejahterakan. Tentunya, Papua pun akan sejahtera dalam naungan Islam.