
Oleh: Ratna Kurniawati, SAB
Linimasanews.id—Sebuah keputusan yang kontroversial datang dari Kementrian Agama Bojonegoro menjelang Ramadan 1445 H. Kemenag Bojonegoro meminta jajaran elemen di bawahnya untuk menghadiri acara ulang tahun Persibo di alun-alun setempat pada Sabtu, 9 Maret 2024. Permintaan tersebut berdasarkan edaran nomor B-799/Kk 13.16.01/HM.01/03/2024 yang mengimbau sejumlah pejabat dan tenaga Pendidikan Agama di Kabupaten Bojonegoro termasuk pengajar, pengawas, dan pegawai di lingkungan Kementrian Agama untuk hadir pada acara ulang tahun Persibo. Sayangnya, acara tersebut hanya berisi tontonan dangdut dengan pakaian seksi yang tentunya mendapat kritikan dari para peserta acara (tvonenews.com, 10/3/2024).
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga memberikan kejutan kepada umat Islam dengan mengeluarkan satu kebijakan baru, yakni menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat pencatatan pernikahan semua agama. Tujuannya agar data pernikahan dan perceraian dapat terintegrasi (cnnindonesia.com, 24/2/2024).
Tidak hanya itu, jauh-jauh hari Kementrian Agama melalui kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Mohamad Ishom mengeluarkan program pendidikan generasi muda (gen-z) berupa komik moderasi beragama bertema Mode Art (detik.news.com, 29/11/2023).
Adapun alasan dari memasifkan moderasi beragama tersebut menurut Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementrian Agama, Husen Hasan Basri, selain legitimasi historis dan sosiologis, pengembangan moderasi beragama memiliki alasan yuridis sebagaimana tertuang dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama.
Secara spesifik moderasi beragama menjadi satu isu strategis bangsa yang tercantum pada Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang menjadi landasan dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional. Penguatan Moderasi Beragama menjadi agenda besar bangsa bukan hanya agenda Kementrian Agama.
Amanah dari RPJMN ditindaklanjuti oleh semua kementrian/lembaga, termasuk Kementrian Agama RI yang menegaskan bahwa moderasi beragama sebagai prioritas utama yang harus mewarnai semua langkah dan gerak program lembaga-lembaga yang berada di bawah binaan Kementrian Agama. Sementara itu, Dirjen Pendidikan Islam menerbitkan Pedoman Implementasi Moderasi Beragama pada Pendidikan Islam, serta menyusun modul-modul pendidikan moderasi beragama yang operasional.
Adapun alasan penetapan KUA sebagai tempat menikah semua agama adalah kaum muslim Indonesia adalah mayoritas sehingga harus melindungi minoritas. Respons yang beragam dari para tokoh lintas agama terkait rencana KUA menjadi tempat menikah semua agama antara lain dari Marsudi Syuhud selaku Wakil Ketua Umum MUI Pusat yang meminta Menag bermusyawarah dengan pemuka agama agar tidak ada salah paham. Menurutnya, di KUA harus disediakan petugas khusus untuk menikahkan muslim dan nonmuslim.
Sedangkan Agustinus Heri Wibowo, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar-agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia menyatakan bahwa KUA lebih tepat menjadi tempat mencatatkan pernikahan semua agama. Namun, tempat pernikahan diserahkan ke agama masing-masing.
Hal senada juga disampaikan oleh Henrek Lokra selaku Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, sebaiknya rencana tersebut dipertimbangkan dengan matang karena dalam agama Kristen, pernikahan menjadi urusan privat yang dilaksanakan di gereja dengan pemberkatan gereja.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menyarankan agar pelaksanaan rencana tersebut didukung dengan SDM dan regulasi. Menurut UU Perkawinan, pernikahan dalam Islam harus mendapatkan legalitas negara dari KUA. Ace juga menambahkan bahwa tugas KUA bukan hanya mengurus pernikahan saja, tetapi juga urusan keagamaan lainnya, seperti zakat, wakaf, haji, dan lain-lain (cnnindonesia.com, 26/2/2024).
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid juga mengkritisi kebijakan ini karena rencana tersebut tidak mempunyai pijakan sejarah alias ahistoris dan dapat memicu disharmoni di antara pemeluk agama. KUA adalah institusional jabatan penghulu yang telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, pembagian kewenangan pencatatan nikah diatur melalui UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Selain itu, diatur juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 (cnnindonesia.com, 27/02/2024).
KUA merupakan Unit Pelaksana Teknis di Kementrian Agama (Kemenag) yang berada di bawah Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Islam. Tugas dan fungsinya tidak hanya sebagai tempat untuk mengurus pernikahan dan perceraian.
Keputusan Menteri Agama No.517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan menyebutkan bahwa tugas dan fungsi KUA adalah menyelenggarakan statistik dan dokumentasi; menyelenggarakan surat-menyurat, pengetikan, kearsipan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk; mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, dan baitul mal. Disamping itu, juga menangani ibadah sosial, kependudukan, serta pengembangan keluarga sakinah. Semua ini harus sesuai dengan kebijakan Dirjen Bimas Islam berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Paradoks Tirani Minoritas
Selama ini pemeluk agama lain menikah di tempat ibadah mereka. Agama Kristen menikah di gereja dan mendapat akta nikah dari sana. Agama Budha menikah di wihara. Agama Hindu menikah di pura. Agama Konghucu menikah di klenteng dan mendapatkan pemberkatan agama Konghucu Li Yen. Para pemeluk agama selain Islam akan mendaftarkan pernikahan mereka di Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) setelah mendapat akta nikah dari tempat pernikahan mereka masing-masing. Hal ini sudah berlangsung lama dan mereka tidak pernah mempersoalkan hal tersebut (cnnindonesia.com, 26/2/2024).
Hal ini sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menetapkan bahwa pernikahan penduduk yang muslim dicatat KUA, sedangkan nonmuslim dicatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Hal di atas menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia sering dipaksa untuk mengalah dengan dalih menjaga hak minoritas. Akan tetapi, hak mereka sendiri terabaikan.
Masifikasi Moderasi Beragama
Kebijakan Menag itu merupakan perwujudan dari agenda moderasi beragama di Indonesia. Hal tersebut terungkap dari pernyataannya bahwa pengembangan fungsi KUA untuk pernikahan semua agama dalam rangka mewujudkan kesetaraan. Ia tidak menginginkan adanya perbedaan perlakuan terhadap umat agama lain. KUA diharapkan menjadi sentra pelayanan keagamaan semua agama.
Ide moderasi beragama muncul dari Daniel Pipes pendiri Middle East Forum. Ia berharap agar Cheryl Benard peneliti RAND Corporation dapat merumuskan sebuah strategi untuk memodifikasi ajaran Islam. Hal ini dilakukan agar umat Islam tunduk kepada Amerika Serikat (AS). Barat paham bahwa ajaran Islam yang murni tidak akan memberi kesempatan kepada nonmuslim untuk mengendalikan umat Islam, tanah, kekayaan, serta sumber daya mereka. Oleh karena itu, ada upaya memasukkan ide Barat seperti demokrasi, gender, HAM, dan sebagainya ke dalam pemikiran umat Islam.
Untuk menyukseskan program ini, disusun strategi yang menjadikan tokoh-tokoh Islam memodernkan Islam dengan sebutan Islam moderat agar lebih diterima oleh umat Islam. Penyebaran ide moderasi beragama di Indonesia telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Presiden memberikan amanah kepada Kemenag untuk menyukseskan program ini sebagai program prioritas Kemenag.
Pemerintah juga mengeluarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Umat Islam diharapkan memiliki komitmen kebangsaan, toleransi, dan antikekerasan. Disamping itu, mereka akan lebih ramah terhadap budaya lain serta memiliki nilai sekularisme yang kuat.
Komitmen kebangsaan mengharuskan umat Islam meninggalkan ketaatan terhadap hukum Syara’ yang sebagai gantinya harus tunduk terhadap aturan buatan manusia dalam konsep demokrasi. Hal ini menunjukkan upaya sekularisasi terhadap pemikiran umat Islam (muslimahnews.net, 10/10/2023).
Pandangan Islam terhadap Non-Muslim dalam Sistem Islam
Islam adalah rahmat bagi semuanya, baik muslim maupun nonmuslim. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Beliau menjadi pemimpin daulah Islam yang pertama. Ketika Daulah Islam berhasil membebaskan suatu wilayah, mereka tidak memaksa penduduk wilayah tersebut untuk memeluk Islam. Nonmuslim tidak diusir dari negeri itu selama tunduk terhadap aturan Islam. Mereka disebut dengan kafir dzimi.
Tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang nonmuslim. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dan penjagaan negara, baik dalam kehidupan, harta maupun akal. Mereka mendapatkan hak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apabila tidak mampu, mereka mendapat bantuan dari Baitul Mal. Mereka juga mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan, boleh melakukan muamalah dengan kaum muslim sesuai aturan Syara’.
Demikian pula, mereka mendapat perlindungan dalam hal keyakinan dan kehormatan, termasuk urusan pernikahan, perceraian, harta peninggalan mereka. Dalam urusan makanan, pakaian khas keagamaan, serta ibadah, dibiarkan mengikuti tata cara agama mereka. Akan tetapi, hanya di ruang privat, tidak boleh dipertontonkan di ruang publik.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa dalam sistem Islam, asas bernegara dan bermasyarakat adalah akidah Islam. Segala aspek kehidupan harus berdasarkan asas ini. Kaum muslim dapat menjalankan aturan Islam secara kafah, tetapi hak umat agama lain tetap dijaga.