
Oleh: Diny Nahrudiani, S.K.M, Str.Keb. (Praktisi Kesehatan)
Linimasanews.id—Setelah melakukan aksi demonstrasi menuntut kenaikan gaji, 249 tenaga kesehatan (nakes) di Kabupaten Manggarai, NTT mengalami pemecatan. Bupati Manggarai tidak memperpanjang Surat Perintah Kerja (SPK) nakes yang masih berstatus honorer (detikNews, 11/4/2024).
Gaji di bawah standar menjadi hal yang biasa di negeri ini. Tenaga kesehatan yang sudah mengabdi tidak mendapatkan perhatian lebih. Alasannya, belum ada anggaran untuk penggajian. Atau kalaupun ada pengajuan, alasan selanjutnya adalah belum cairnya anggaran. Kalaupun cair, jumlah dana untuk penggajian masih di bawah standar kelayakan. Mereka tidak bisa berbuat lebih selain menunggu pencairan dana dengan mempertaruhkan nasib keluarga nakes yang ditanggungnya.
Padahal, negara memiliki peranan penting untuk memperhatikan kesejahteraan warganya, termasuk para nakes ini. Terlebih, mereka memberikan jasa yang tidak sedikit untuk turut meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam Islam, kedudukan mereka adalah ajir atau karyawan yang harus diberikan ujroh (upah) yang layak.
Islam menawarkan satu solusi yang sangat baik untuk masalah upah ditetapkan dengan cara yang paling tepat, tanpa harus menindas pihak mana pun. Islam memberikan syarat pembayaran upah, yaitu 1) upah disebutkan sebelum pekerjaan dimulai; 2) upah dibayarkan dengan benar; 3) upah dibayarkan secara proporsional; 4) upah dibayarkan sesegera mungkin sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam kontrak.
Pos penggajian didapat dari pengelolaan sumber daya alam, penghasilan negara dalam bentuk pajak yang didapat dari perdagangan kaum kafir, penduduk nonmuslim, harta rampasan perang, fa’i serta khazraj.
Islam memandang abdi negara adalah perpanjangan tangan pemerintah dalam memberikan pelayanan untuk rakyatnya. Karenanya, seharusnya pemerintah sudah siap dengan segala konsekuensi, terutama upah yang layak untuk abdi negara, bukan malah mengurangi haknya dan menelantarkan kesejahteraannya.
Sejarah Islam membuktikan Khalifah Umar bin Khattab sangat memperhatikan sistem penggajian untuk para karyawan dan abdi negara. Tidak hanya mengupah dengan dinar dan dirham, tetapi juga dengan tunjangan, bonus/insentif, ucapan terima kasih, pujian hingga do’a.
Dalam hal ini nakes sudah bekerja dengan maksimal, walaupun saat ini gaji yang mereka terima minimalis, bahkan di bawah standar kelayakan, tetapi sebagian mereka telah menunaikan pekerjaannya. Dalam hal ini, Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna menutupi kebutuhan hidupnya.
Allah memerintahkan hamba-Nya agar melakukan suatu pekerjaan dengan baik dan sungguh-sungguh. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt. berfirman, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 51).
Maka sudah seharusnya negara menjamin upah yang proporsional dan layak untuk mencukupi kebutuhan hidup para nakes ini sesuai dengan kontribusi yang sudah mereka berikan untuk umat. Di samping itu, pemberian tunjangan, bonus, insentif, penghargaan, pujian hingga do’a seperti yang dilakuan Umar bin Khattab dan para khalifah sesudahnya.
Namun, jika pengaturan negara masih menggunakan hukum kapitalis, maka negeri ini tidak akan bisa memenuhi hak para buruh dan karyawan dengan baik. Sebab, pengelolaan negara hanya berdasarkan keuntungan, sehingga untuk menggaji pegawai abdi negara pun, selalu memperhitungkan untung rugi, bukan lagi berdasarkan keadilan dan hukum syarak. Seyogianya negeri ini segera berbenah diri, meniru dan mencontoh Khalifah Umar bin Khattab, mengelola negara dengan sistem Islam. Dengan begitu, kesejahteraan melimpah ruah untuk abdi negara, juga masyarakat.