
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Nilai tukar rupiah atas dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami depresiasi hingga menyentuh Rp16.280 pada Jumat (19/04). Ini adalah pertama kalinya nilai tukar rupiah mencapai Rp16.000 per dolar AS dalam empat tahun terakhir. Pada April 2020, angkanya sempat menyentuh Rp16.741 karena situasi serba tak pasti yang dipicu pandemi Covid-19. (bbc.com, 21/4/2024).
Melemahnya nilai tukar rupiah ini akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Lemahnya rupiah terhadap dolar berpotensi membuat harga barang-barang impor melonjak, termasuk bahan baku industri, serta memicu inflasi yang akhirnya melemahkan daya beli masyarakat, seperti dinyatakan Peneliti Makroekonomi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Teuku Riefky (BBCIndonesia.com, 21-4-2024).
Faktor Pelemahan Rupiah
Melemahnya rupiah terhadap nilai tukar dolar AS adalah bentuk konfirmasi bahwa dunia saat ini sedang dalam genggaman imperialisme Amerika Serikat, meski ada faktor lainnya yang menyebabkan rupiah melemah. Dilansir dari BBCIndonesia (21-4-2024), ada sejumlah faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah, di antaranya;
Pertama, The Fed atau bank sentral AS diperkirakan akan lebih lama mempertahankan suku bunga acuannya di level tinggi untuk meredam laju inflasi AS, kata Josua Pardede, kepala ekonom Bank Permata. Selama suku bunga The Fed masih tinggi, investor global akan lebih tertarik menaruh uangnya di pasar AS, sehingga memicu arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kedua, konflik Israel-Iran di Timur Tengah yang kian memanas. Iran menggempur Israel dengan lebih dari 300 rudal dan drone pada Sabtu (13-4-2024) sebagai balasan atas serangan Israel ke Konsulat Iran di Damaskus dua minggu sebelumnya. Konflik Israel-Iran dikhawatirkan mengganggu rantai pasok minyak global, terutama apabila Iran memutuskan memblokade Selat Hormuz yang kerap disebut sebagai jalur pengiriman minyak terpenting di dunia (bbc.com, 21/4/2024).
Diantara kedua faktor tersebut, yang paling berpengaruh sebenarnya ialah dominasi mata uang dolar AS sebagai mata uang internasional yang mengontrol nilai tukar mata uang negara selainnya. Tidak hanya rupiah yang melemah, jika bank sentral Amerika menaikkan suku bunganya, pasti berimbas pula ke mata uang negara lainnya. Sedangkan saat ini, dolar AS mendominasi transaksi global.
Kekuatan dolar AS memiliki dampak ekonomi, yakni menjadikan AS mampu memberi sanksi secara ekonomi dan finansial kepada negara yang disasar. Mereka juga mampu meminggirkan negara-negara lain dari perdagangan dengan negara yang disasar. Dengan kata lain, eksistensi AS sebagai pengemban ideologi kapitalisme dan dominasi dolarnya sangat memengaruhi kondisi ekonomi global. Hal ini terjadi karena dunia secara keseluruhan saat ini di bawah imperialisme negara kapitalisme Amerika Serikat.
Imperialisme AS terhadap dunia global melalui dolar diawali dari perjanjian Bretton Woods di tahun 1944. Sebelum tahun itu, mata uang dunia berbasis emas. Ketika Perang Dunia Pertama pecah di tahun 1914, banyak negara yang meninggalkan standar emas, lalu beralih menggunakan mata uang kertas untuk membayar belanja militer.
Amerika Serikat pun menjadi debitur dari banyak negara yang ingin membeli obligasi redenominasi dolar AS. Kemudian, beberapa negara bertemu di Brighton Woods, New Hampshire untuk mematok nilai tukar mereka kepada dolar AS lantaran AS adalah negara yang memegang cadangan emas terbesar di masa itu. Perjanjian Brighton Woods mengizinkan negara-negara untuk mematok nilai tukar mereka dengan dolar AS ketimbang emas. Dengan begitu, dolar berlaku dalam perdagangan dunia internasional hingga saat ini.
Perjanjian ini sangat menguntungkan AS karena mereka dapat mengatur kondisi ekonomi dunia. Selain itu, secara tidak langsung Amerika dapat dengan mudah menguasai negeri-negeri di seluruh dunia. Namun, kekuatan imperialisme ini sejatinya kekuatan semu karena berdasarkan perjanjian. Dengan demikian, perubahan rupiah sebenarnya adalah bentuk kezaliman akibat imperialisme AS.
Sistem Mata Uang Berbasis Emas jadi Solusi
Islam memiliki sistem mata uang akan membuat perekonomian lebih stabil dan kuat, yakni sistem mata uang emas. Syaikh Taqiyyudin an Nabhani dalam kitabnya Nidhzamul Iqtishadiy menjelaskan bahwa Islam menetapkan sistem mata uang berbasis emas dan perak atau yang dikenal dengan sebutan dinar dan dirham, sebagaimana pernah diberlakukan Rasulullah saw. ketika beliau menjadi kepala negara Islam di Madinah pasca-hijrah.
Dirham-dirham memang telah lama digunakan oleh masyarakat saat itu. Rasulullah menyetujui penggunaan dinar dan dirham sebagai mata uang resmi negara. Ini terlihat dari sikap Beliau yang menyetujui timbangan kaum Quraisy sebagai standar timbangan dinar-dirham. Beliau bersabda, “Timbangan yang berlaku adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran yang berlaku adalah takaran penduduk Madinah.” (HR. Abu Daud)
Sistem mata uang ini lebih stabil dan adil, sehingga secara ekonomi akan aman dan rakyat akan sejahtera. Hal tersebut karena mata uang dinar dirham memiliki basin riil berupa emas dan perak. Karena itu, nilai nominal yang tertera setara dengan nilai intrinsiknya.
Ukuran 1 Dinar setara dengan 4,25 gram emas dan satu Dirham setara dengan 2,975 gram perak. Ketika negara ingin mencetak uang maka negara harus memiliki sejumlah emas dan perak. Sebaliknya, ketika negara tidak memiliki emas dan perak maka negara tidak bisa mencetak uang. Jaminan mata uang dengan emas dan perak ini membuat perekonomian tidak mudah inflasi.
Selain itu, dinar dan dirham memiliki aspek penerimaan yang tinggi, termasuk dalam pertukaran antar mata uang atau dalam perdagangan internasional. Kestabilan mata uang dinar dan dirham telah terbukti sepanjang sejarah, bahkan ketika dunia saat ini dikendalikan oleh dolar.
Pada tahun 1800, harga emas per satu troy ons setara dengan 19,39 Dollar AS. Pada tahun 2004, satu troy ons emas bernilai 455,757 Dollar AS. dengan kata lain, selama 2 abad berlalu, emas mengalami apresiasi yang luar biasa, sebesar 2.250% terhadap dolar. Fakta tersebut menunjukkan bukti keunggulan mata uang dinar dan dirham.
Bahkan, banyak pihak yang mengakui keunggulan mata uang ini. Seperti, seorang analisis Emerging Market CLSA, Christopher Wood berkata, “Emas adalah satu-satunya jaminan nyata terhadap ekses-ekses keuangan masif yang masih dirasakan dunia Barat. Ketika nilai tukar Dollar anjlok, harga emas akan terus naik.”
Selanjutnya, peraih Nobel Ekonomi, Robert Mundell dalam Hamidi (2007) memperkirakan emas akan kembali menjadi bagian sistem keuangan internasional pada abad ke-21. Dengan sistem mata uang dinar dirham, ekonomi negara dan rakyat akan stabil dan membuat rakyat hidup tenang.
Hanya saja, penerapan sistem mata uang dinar dirham tidak bisa dilakukan individu atau kelompok tertentu. Maka, agar kemaslahatan mata uang dinar dirham bisa dirasakan, umat membutuhkan institusi negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam beserta syariat Islam lainnya secara kaffah. Institusi ini tidak lain adalah Daulah Khilafah.