
Oleh: Fathimah A. S. (Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.id—Bencana kembali terjadi. Di Kabupaten Lumajang, terjadi banjir dan tanah longsor pada Kamis (18/4/2024). Banjir ini tidak hanya disebabkan banjir lahar hujan Gunung Semeru, melainkan juga akibat meluapnya debet air sungai yang letaknya berdekatan dengan aliran lahar. Berdasarkan data BPBD, terdapat sembilan kecamatan yang terdampak banjir dan longsor. Terdapat tiga korban jiwa dalam peristiwa tersebut, 17 jembatan rusak, dan empat rumah terdampak (kompas.com, 20/04/2024).
Bencana banjir juga terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Banjir ini melanda Desa Balongga dan Sambo. Sebanyak 173 rumah terendam air bercampur lumpur dan 419 kepala keluarga (KK) terdampak banjir. Selain itu, beberapa fasilitas umum juga terdampak banjir seperti SMP 26 Sigi, SDN Balongga, Puskesdes Balongga, Rumah Adat, dan Jembatan Balongga (palu.tribunnews.com, 19/04/2024).
Tidak hanya itu. Bencana banjir juga terjadi di Kabupaten Lebong, Bengkulu, pada Selasa (16/4/2024) dan melanda tujuh kecamatan. Berdasarkan data BPBD, sebanyak 2.712 jiwa terdampak dan menyebabkan kerusakan pada 195 unit rumah, 24 jembatan gantung, jalan, 15 unit fasilitas umum, 15 unit tempat usaha, serta ratusan hektare areal pertanian (antaranews.com, 20/4/2024).
Mitigasi Bencana: Perkara Penting!
Banjir merupakan bencana yang kompleks. Penyebabnya merupakan akumulasi dari berbagai hal. Ada faktor alam, ada juga faktor manusia. Bila dilihat dari segi faktor alam, banjir kerap kali disebabkan curah hujan yang tinggi. Akan tetapi, tentu kita tidak dapat serta-merta menyalahkan alam saja, bukan? Faktanya, memang ada faktor manusia di sana. Mulai dari tingginya deforestasi, alih fungsi lahan tak terkendali, daerah resapan air tertutup bangunan tinggi, hingga sungai yang tak dapat membendung lagi.
Maka, alih-alih menyalahkan alam, sudah saatnya negeri ini berbenah dan mulai menata mitigasi bencana. Ketika mitigasi bencana baik, maka pasti dampaknya bisa diminimalkan. Dengan begitu, harta, jiwa, maupun infrastruktur dapat selamat.
Mitigasi bencana tidak dimulai ketika terjadi bencana, melainkan dimulai dari jauh-jauh hari sebelum bencana terjadi. Maka, mitigasi bencana memerlukan perencanaan yang matang. Mulai pra-bencana, seperti dari pembangunan tata kota yang berwawasan lingkungan, pengelolaan sistem drainase dan pengerukan sedimentasi sungai, pembuatan jalur evakuasi bencana, sistem prediksi dan deteksi bencana, serta simulasi bencana.
Mitigasi juga dilakukan saat terjadi bencana, seperti lokasi pengungsian yang dapat dijangkau masyarakat, komunikasi yang mumpuni, bantuan makanan serta obat-obatan yang mencukupi, serta teknologi untuk mengalihkan material bencana. Mitigasi pasca bencana, seperti penguatan ruhiyah dan mental bagi korban bencana, perbaikan rumah dan infrastruktur, serta revitalisasi dampak bencana.
Buruknya Mitigasi
Namun sayang, negeri ini belum menerapkan mitigasi bencana yang baik. Sering kali, selalu gagap ketika terjadi bencana. Padahal, bencana banjir merupakan perkara yang terus berulang, akan tetapi penanganannya belum maksimal. Keterbatasan dana selalu menjadi alasannya. Entah memang seperti itu, atau memang kesadaran akan mitigasi bencana masih minim sehingga pengalokasiannya tidak begitu besar.
Alhasil, korban terdampak bencana hanya dapat merasakan penderitaan. Mereka harus kehilangan harta benda, rumah, bahkan nyawa. Pasca bencana mereka juga harus mengeluarkan dana cukup besar agar dapat memperbaiki kondisinya seperti sedia kala. Sering kali, mereka harus tinggal lama di pengungsian, dengan makanan, pakaian, tempat tinggal yang seadanya. Mereka tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah. Bahkan, tidak sedikit yang terkena diare dan sakit kulit akibat minimnya ketersediaan air bersih.
Dalam kondisi seperti ini, pihak yang banyak membantu justru para sukarelawan bencana dan swadaya masyarakat sendiri. Sementara, pemerintah justru tidak menjamin kebutuhan para pengungsi. Sungguh, inilah yang terjadi dalam sekularisme kapitalisme. Di hari ini, peran sebagai penguasa, yaitu ri’ayah su’unil ummah (pengurus urusan umat) minim dijalankan.
Islam Memperhatikan Mitigasi Bencana
Tentu sistem sekuler ini berbeda jauh dengan Islam. Sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, Islam telah mengatur bahwa peran negara adalah sebagai ri’ayah su’unil ummah (pengurus urusan umat). Negara wajib menjalankan perannya sebagai pelaksana syariat dan mencukupi kebutuhan rakyat. Maka, Khilafah akan bersungguh-sungguh melakukan mitigasi bencana, mulai dari pra-bencana, saat terjadi bencana, hingga pasca-bencana. Meski membutuhkan biaya yang besar, pembangunan dan teknologi mutakhir yang diperlukan untuk meminimalkan risiko bencana akan dikembangkan.
Ini semua dapat dilakukan karena Khilafah memiliki sumber dana yang stabil dan beragam. Hal ini dapat diketahui dari pengaturan Islam terkait Baitul Mal (pendanaan negara). Terdapat pos pendanaan yang bersumber dari fai’ dan kharaj serta harta kepemilikan umum. Di dalamnya, pengalokasian untuk kondisi darurat seperti bencana selalu ada. Kemudian, apabila tidak mencukupi, maka kaum muslim dapat membantu secara sukarela. Sungguh, demikianlah keunggulan Islam dalam mengatasi bencana.