
Oleh: Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Linimasanews.id—Mengutip Kompas.com (25/4/2024), pemerintah menetapkan tema peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2024 adalah “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. Seiring dengan itu, dicanangkan bulan Mei tahun 2024 sebagai bulan Merdeka Belajar.
Pertama kali mendengar kata merdeka belajar, orang tua dan anak bangsa ada tentu penasaran terkait gambaran bentuk penerapan merdeka belajar untuk anak-anak bangsa ini. Jawaban demi jawaban dicari, namun tidak sedikit kebingungan masih dirasakan oleh orang tua, peserta didik, bahkan mungkin pendidik itu sendiri. Butuh upaya serius untuk menyelami. Karena jika tidak, akan mengarahkan pada ketidakjelasan arah didik bagi generasi.
Selayang Pandang Merdeka Belajar
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo, menyebut, Kurikulum Merdeka tak memberi dampak terhadap skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia 2022. Sebab, Kurikulum Merdeka baru lahir di 2021 dan baru berjalan di 2022. Dia menyebut Kurikulum Merdeka baru mulai bisa menunjukkan dampaknya paling cepat setelah diterapkan tiga tahun. Dengan asumsi tersebut, dampak Kurikulum Merdeka baru bisa dilihat pada skor PISA 2025 (Medcom.id, 25/12/2023).
Jika ini baru asumsi, bisa dibayangkan sekaligus sangat disayangkan, ternyata kurikulum di negeri ini masih coba-coba. Bisa jadi berhasil, bisa jadi nihil.
Kalau dilihat dari tujuan pembelajaran yang ada, Kurikulum Prototipe hingga berganti nama menjadi Kurikulum Merdeka ini dijalankan tahun 2020 dalam rangka mendukung pemulihan pembelajaran pascapandemi. Kurikulum ini dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus juga berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik.
Untuk mengamati karakteristik utama dari kurikulum ini, bisa kita lihat dari hal-hal yang menjadi fokus Kurikulum Merdeka, seperti dilansir dari Situs Kemdikbud, sebagai berikut:
Pertama, materi esensial agar pembelajaran lebih mendalam.
Kedua, waktu lebih banyak untuk pengembangan kompetensi dan karakter melalui belajar kelompok seputar konteks nyata (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
Ketiga, capaian pembelajaran per fase dan jam pelajaran yang fleksibel mendorong pembelajaran yang menyenangkan dan relevan dengan kebutuhan pelajar dan kondisi satuan pendidikan.
Keempat, memberikan fleksibilitas bagi pendidik dan dukungan perangkat ajar pendidikan dan melaksanakan pembelajaran berkualitas.
Kelima, mengedepankan gotong royong dengan seluruh pihak untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka.
Empat tahun sudah kurikulum ini berjalan. Lima fokus diutamakan untuk dijalankan. Empat tahun pula catatan kelam ternyata masih menghiasi bidang pendidikan di negeri ini. Sekalipun dari hasil PISA ada peningkatan literasi dan numerasi siswa, garis gelap kerusakan masih menggores rapor dunia pendidikan.
Berdasarkan hasil Asesmen Nasional 2021 dan 2022 atau Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4% peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan (bullying). Sementara itu, menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), ada 30 kasus bullying sepanjang 2023. FSGI juga mencatat sepanjang 2023, ada 46,67% kekerasan seksual terjadi di sekolah dasar. Ini hanyalah angka-angka yang tampak, belum kasus yang tidak terlaporkan.
Belenggu Kapitalisme Sekuler Mencekik Dunia Pendidikan
Senyatanya Kurikulum Merdeka belum mampu menjawab persoalan krusial sesungguhnya yang tengah dihadapi dunia pendidikan. Maraknya perundungan, kekerasan seksual, pergaulan bebas, hingga kehamilan di luar nikah, dan kerusakan lainnya viral di jagat raya dan media. Ini menunjukkan bahwa generasi kita makin menjauh dari karakter insan terbaik.
Boleh jadi secara data ada peningkatan capaian belajar atau penilaian yang bersifat numerik dan materi. Namun, capaian karakter generasi unggul mulia masih jauh panggang dari arang.
Ada apa dengan kerangka kurikulum negeri ini? Pergantian sebelas kali tak hasilkan generasi mumpuni. Ada yang salah dan sangat bermasalah di dunia pendidikan saat ini. Ada belenggu yang masih mencekik atas asas pendidikan negeri ini. Tujuan pendidikan yang ada kehilangan arah. Capaian materi yang semu dijadikan fokus pada proses pendidikan yang dijalani. Siapa lagi biang keladi, kalau bukan kapitalisme sekuler yang bersifat materialistis?
Dalam sistem kapitalisme sekuler, pendidikan hanya berorientasi pada dunia kerja. Sangatlah wajar jika akhirnya setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah pertimbangannya selalu pada kesiapan peserta didik untuk terserap di dunia kerja.
Memang benar dunia kerja membutuhkan strata pendidikan tertentu, karena bagaimanapun juga, keahlian merupakan bagian yang menopang dunia kerja. Hanya saja, perlu diingat bahwa penyelenggaraan dunia pendidikan tidak melulu berbicara dunia kerja.
Jika dalam pendidikan hanya mendalami dunia kerja, bisa dibayangkan sistem pendidikan seperti ini bagai pabrik yang memproduksi robot-robot. Yakni, robot yang siap pakai untuk dipekerjakan dan bekerja. Padahal, dunia pendidikan bukan dunia robotik mesin tanpa pikir dan ilmu.
Dunia pendidikan sejatinya adalah sistem yang berpeluang besar untuk mencetak individu yang ahli dalam beragam ilmu universal yang disertai pemahaman akan kedudukannya sebagai ahli ilmu. Visi pendidikan ini tidak dimiliki dalam sistem sekuler kapitalis radikal. Sebab, jauh dari proses mencetak individu berkarakter sekaligus mampu menjadikan ilmu untuk membentuk karakter yang khas.
Belum lagi terkait infrastruktur di bidang pendidikan. Ketidaksiapan infrastruktur pendukung digital begitu terasa kesenjangannya dari wilayah barat hingga timur Indonesia. Bukan hanya itu, nasib pendidik pun belum diperhatikan dalam sistem pendidikan saat ini. Kapitalisme sekuler tidak menampakkan keberpihakan pada perwujudan kesejahteraan pendidikan di negeri ini.
Tragisnya, Kurikulum Merdeka makin memperkuat konsep kapitalistik dalam tata kelola pendidikan. Penerapan konsep otonomi sekolah melalui model pengelolaan manajemen berbasis sekolah (MBS) menjadikan tumpuan besar penyelenggaraan pendidikan ada pada sekolah dan guru, sedangkan negara berlepas diri dari tanggung jawabnya untuk menjamin kebutuhan pelayanan pendidikan.
Walhasil, pendidikan terus terbelenggu oleh sistem kapitalistik yang membuat negara abai terhadap kondisi guru. Kebebasan bagi guru untuk bisa berinovasi dan menjalankan pembelajaran yang bermutu dikebiri hingga mandul dari kata unggul.
Islam dan Dunia Pendidikan
Islam memiliki konsep yang istimewa terkait pendidikan, yakni membentuk kepribadian Islam yang mampu menyatukan pola pikir dan sikap. Dengan konsep tersebut terwujudnya individu yang ahli dan bermental negarawan merupakan keniscayaan karena dengan ilmu yang mereka dapatkan, realisasi keilmuan yang ada terlaksana dalam membangun masyarakat. Refleksi iman terpancar kuat dalam amanah yang dijalankan.
Islam pun mengharuskan negara berperan besar dalam mewujudkan visi pendidikan. Negara wajib menyiapkan infrastruktur pendukung dalam kondisi apa pun. Sebab, dalam Islam, penguasa adalah pelayan dan pengurus rakyatnya. Karenanya, pembangunan sarana pendukung pendidikan yang dibangun pun tegak atas filosofi tersebut. Dalam sistem Islam, pendidikan merupakan kebutuhan dasar rakyat. Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakannya dengan dukungan infrastruktur yang memadai.
Demikian pula peran guru. Guru merupakan hal penting dalam dunia pendidikan. Kedudukan guru berikut para ahli ilmu sangat mulia dan istimewa dalam Islam. Penghargaan Khalifah Umar bin Khaththab terhadap para guru adalah contohnya. Gaji yang fantastis diberikan pada masanya.
Inilah realisasi yang terjadi jika Islam diterapkan. Penyelenggaraan pendidikan tidak akan terpisah dari spirit keimanan. Arah visi pendidikan tergambar jelas, tanpa harus bergonta ganti kurikulum. Produk pendidikannya pun tentunya membuat dunia terkagum-kagum. Lalu, sampai kapan betah dengan sistem pendidikan saat ini jika gambaran gemilang sudah sekian kali ditawarkan di mimbar-mimbar perbincangan? Sampai kapan masih bahagia dalam belenggu yang menyempitkan kehidupan?
Sudah saatnya berlepas dari mempercayai sistem produk manusia. Berganti dan kembali pada sistem produk Ilahi tentunya lebih menjamin terlaksananya pendidikan terbaik untuk seluruh penduduk negeri, sekalipun tak perlu diperingati seperti Hardiknas saat ini.