
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan usai Pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-Republik Rakyat China (RRC) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, mengatakan meminta agar Cina melakukan transfer teknologi sawah padi yang bakal diterapkan di lahan 1 juta hektar di Kalimantan Tengah. Namun, langkah tersebut mendapat kritikan dari Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso. Dwi menilai lahan seluas 1 juta hektar itu terlalu luas untuk rencana awal karena tongkat keberhasilan yang belum pasti.
Kenyataannya, proyek food estate sudah ada sejak 25 tahun lalu, dari masa pemerintahan Presiden Soeharto, SBY, hingga Joko Widodo. Lahan yang saat itu digunakan juga berjuta hektar, namun gagal. Pada zaman Soeharto, tercatat 1,45 juta hektar lahan di Kalimantan Tengah gagal. Kemudian 2 proyek SBY di Merauke, 1,2 hektar juga mengalami kegagalan. Menyusul di Bulungan Timur 300.000 hektar, Ketapang, Kalimantan Barat 100.000 hektar juga belum berhasil.
Kemudian sejumlah proyek serupa di era Jokowi di beberapa daerah juga nyatanya belum berhasil. Maka sangat disayangkan jika pemerintah masih mengulangi kesalahan yang sama, alih-alih lebih fokus dan konsisten terhadap pengelolaan lahan yang sudah terlanjur dibuka (Tempo.co, 23/4/2024).
Pembukaan lahan tersebut dilakukan di lahan gambut yang memang memiliki kelemahan pada sistem pengairannya. Sedangkan padi adalah jenis tanaman yang memerlukan sistem pengairan yang baik. Jika permasalahan pokok ini belum bisa diatasi, maka bukan tidak mungkin proyek kali ini juga akan mengalami kegagalan. Pemerintah perlu mengevaluasi pelaksanaan proyek yang menelan biaya fantatastis ini. Alangkah bijaknya jika pemerintah melakukan mitigasi kegagalan lumbung pangan petani lokal.
Karena kenyataanya banyak petani lokal yang mengalami gagal panen dan akhirnya memilih pensiun meninggalkan lahan pertanian mereka. Misalnya, pemerintah bisa lebih mensupport dan mendorong petani lokal dengan menyediakan pupuk yang mencukupi dan terjangkau, tetapi justru penyediaan benih yang berkualitas tergantung pada asing. Pembenahan sistem dan saluran irigasi dan perbaruan teknologi di bidang pertanian juga sangat dibutuhkan.
Selain itu, belum ada kejelasan tentang pelaksanaan proyek sawah Cina ini nanti. Apakah Cina hanya berperan sebagai investor yang mendanai dan menyediakan teknologinya atau pemerintah menyediakan lahan kemudian mereka yang mengelola. Jika Cina mengelola lahan, tentu dengan mendatangkan tenaga kerja Cina yang cukup banyak untuk menggarap lahan berjuta hektar tersebut. Jika hal ini yang terjadi, bukan tidak mungkin akan lahir masalah baru lagi.
Indonesia saat ini masih terbebani dengan masalah pengangguran. Proyek besar seperti ini tentu mampu menyerap tenaga kerja yang banyak tapi sudah menjadi rahasia umum saat ini penduduk lokal lebih sering kalah saing dengan para tenaga asing. Sayangnya, selama ini kebijakan yang diambil pemerintah terkesan menganaktirikan penduduk lokal dan lebih menganakemaskan para investor asing.
Diakui atau tidak, proyek sawah Cina ini tentu juga berpengaruh pada kedaulatan pangan Indonesia. Sistem kapitalisme yang diadopsi negara ini seolah telah menjadikan nasib negeri ini tergadai di tangan para kapitalis. Pemerintah difungsikan hanya sebatas regulator pendukung kepentingan para korporat. Maka tak heran jika kebijakan yang diambil pun tak berpihak pada rakyat.
Hal ini tentu tak akan terjadi dalam penerapan sistem Islam kaffah yang memposisikan negara sebagai pemelihara urusan umat (raain) yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, termasuk pemenuhan sandang, papan, dan pangan yang merupakan kebutuhan pokok dan mendasar bagi rakyat.
Terkhusus dalam bidang pertanian misalnya, negara akan melakukan pemetaan wilayah guna mengetahui kendala atau masalah apa saja yang kemungkinan dialami para petani. Pembenahan sistem dan saluran irigasi yang disesuaikan dengan keadaan alam untuk setiap kasus wilayah yang berbeda juga akan dilakukan. Untuk sawah tadah hujan dan lahan gambut tentu perlu penanganan yang berbeda sesuai kaidah ilmiah.
Penyediaan bibit unggul serta menjamin ketersediaan pupuk tentunya dengan harga yang terjangkau. Pemerintah juga wajib mengupgrade teknologi di bidang pertanian sesuai kemajuan teknologi terbaru. Hal ini tentu mempermudah petani dan meminimalisir kegagalan panen.
Pemerintah juga wajib memastikan produk pertanian tertangani cukup baik pascapanen, mulai penetapan harga pasar sehingga harga komoditi tidak anjlok ketika panen, menjamin distribusi barang berjalan baik hingga ke tangan konsumen serta kebijakan-kebijakan lainya yang tentu saja mampu menjamin nasib petani.
Jika hal ini sudah bisa ditangani, ketahanan pangan tidak akan lagi menjadi masalah. Islam juga tidak akan pernah menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing ataupun korporasi. Hal ini selain mampu menjamin kedaulatan negara juga lebih mudah bagi negara untuk mensejahterakan rakyatnya.
Negara tak perlu khawatir kekurangan tenaga ahli karena sistem pendidikan Islam mampu melahirkan tenaga ahli yang amanah dalam setiap bidang mereka masing-masing. Mereka dididik dengan sakhsiyah (kepribadian) dan tsaqafah Islam sehingga terbentuk generasi tangguh yang tidak hanya berorientasi pada dunia namun juga akhirat.
Sehingga tujuan mereka sama, yaitu memajukan umat, bukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Jika masyarakat sudah terbentuk dengan kepribadian Islam dan sistem yang digunakan juga sejalan, maka bukan hal mustahil kesejahteraan umat akan terwujud. Wallahu a'lam.