
Oleh: Finis (Penulis)
Linimasanews.id—Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Wirya Adiwena menilai hukum di Indonesia makin lemah. Pasalnya, kriminalisasi kerap terjadi, terutama dari aparat kepada masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa. Laporan tahunan HAM Global Amnesty menyoroti empat isi di Indonesia yang membuat nilai-nilai hukum memudar. Mulai dari pelanggaran hak warga sipil dalam konflik bersenjata, penolakan terhadap keadilan berbasis gender, faktor ekonomi perubahan iklim terhadap kelompok masyarakat terpilih termasuk masyarakat adat, hingga ancaman teknologi baru terhadap pengurusan hak rakyat Indonesia (idntimes.com, 26/4/2024).
Akibat dari penerapan hukum yang buruk, kebebasan ekspresi masyarakat akan terancam karena seringnya aparat bertindak kasar dalam menghadapi masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasinya. Beginilah ketika sistem kapitalisme-sekuler diterapkan di negeri ini. Sistem yang melegalkan manusia dalam membuat hukum. Padahal manusia bersifat lemah dan terbatas. Sehingga hukum yang dihasilkannya juga jauh dari sempurna dan tak mampu menyelesaikan persoalan manusia secara adil. Hukum sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Bahkan hukum yang dihasilkannya pun tidak menimbulkan efek jera sedikit pun. Mereka mengulangi berkali-kali perbuatan yang melanggar hukum karena hukum dapat dibeli dengan uang. Ditambah lagi para pemimpin negeri ini yang seringkali bertindak semena-mena terhadap rakyatnya. Tanpa peduli rakyat berada di fihak yang salah atau yang benar. Mereka bertindak sesuai dengan hawa nafsunya. Sehingga keadilan sulit sekali tercipta di negeri ini.
Ini terjadi karena agama dipisahkan dari kehidupan. Ketika hukum-hukum Allah dicampakkan dari kehidupan, manusia jauh dari rasa tenteram dan adil. Seharusnya manusia segera menyadari betapa buruk dan lemahnya hukum yang lahir dari sistem saat ini. Kaum muslim seharusnya bersegera mencampakkan dan menggantinya dengan sistem yang sempurna, yaitu Islam.
Negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah yaitu Khilafah, mewajibkan pemeluk Islam dan rakyatnya mengikatkan diri dengan aktivitas yang sesuai dengan syariat. Wajib memutuskan apa pun sesuai syariat. Sehingga legislasi dalam Islam akan menghasilkan produk hukum yang lengkap, harmonis, selalu relevan dengan zaman, menjamin kepastian hukum yang membawa kebaikan hakiki bagi masyarakat.
Hal ini akan terwujud karena kedaulatan hukum dalam sistem Islam hanya di tangan Allah Al-Hakim. Sudah pasti hukum yang diturunkan juga sempurna, adil, dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah Swt., “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Ciri khas hukum dalam sistem Islam adalah memiliki dimensi dunia dan akhirat. Semisal penerapan hukum uqubat oleh Khilafah memiliki efek zawajir dan jawabir. Efek zawajir yaitu mencegah masyarakat agar tidak berbuat kejahatan yang semisal. Sedangkan efek jawabir yaitu menebus dosa bagi si pelaku, agar di akhirat tidak lagi mendapat hukuman. Dengan begitu, orang akan berhati-hati dan takut berbuat dosa. Negara juga menjaga masyarakatnya dengan akidah Islam. Sehingga seluruh perbuatan masyarakat akan terarah dan terikat dengan hukum-hukum syariat.
Begitu pula sumber hukum dalam Islam sangat jelas, yakni berasal dari dalil-dalil syariat yang meliputi Al-Qur,’an, As-Sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Kejelasan sumber hukum ini akan menghindarkan manusia dari perselisihan. Karena rujukannya jelas dan baku, yakni wahyu Allah Swt. Meskipun seorang khalifah memiliki hak untuk mengadopsi hukum dan seorang qadhi boleh berijtihad, namun mereka tidak menetapkan hukum berdasarkan keinginan sendiri atau kepentingan mereka. Mereka mengadopsi dan berijtihad hukum berdasar nash-nash yang telah ditentukan oleh syariat. Dengan konsep hukum yang demikian, maka negara khilafah akan mampu menciptakan keadilan di tengah masyarakat secara hakiki. Wallahu a’lam.