
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Beberapa waktu terakhir ini, instansi Bea dan cukai mendapat sorotan tajam dan menuai banyak kritikan masyarakat luas. Pasalnya, muncul bermacam keluhan dari orang yang merasa telah dirugikan oleh bea dan cukai di media sosial. Di antaranya, kasus yang viral di tik-tok dan X di mana seorang netizen membeli sepatu impor seharga Rp10 juta malah dikenakan bea masuk Rp30 juta atau tiga kali lipat dari harga barang. Ada pula kasus alat bantu belajar sekolah SLB yang mendapat hibah dari Korea, tertahan selama dua tahun karena dikenakan pajak dan denda hingga ratusan juta.
Berikutnya, ada Youtuber Medy Renaldy, seorang kolektor mainan robot yang mengeluh mainan robot yang dikirim dari luar negeri sudah dibuka dan hilang salah satu bagian pentingnya. Setelah itu, berbagai keluhan dari masyarakat terus bermunculan, mulai dari artis, tokoh, hingga Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mengeluhkan berbagai kerugian yang dialami akibat bea cukai.
Bukan hanya barang berharga yang dibeli atau dihibahkan dari luar negeri, beberapa waktu lalu seorang remaja wanita bernama Fatimah Zahratunnisa menceritakan pengalamannya di media sosial X. Wanita remaja tersebut mengikuti lomba menyanyi di Jepang secara mandiri dan berhasil meraih juara pertama.
Bukannya diapresiasi atas prestasinya, justru dipersulit saat hendak membawa pulang piala. Dia diminta membayar biaya masuk senilai Rp4 juta, meskipun setelah negosiasi dengan alot akhirnya piala itu bisa dibawa pulang, tetapi dia bercerita kalau di kantor tersebut dia diharuskan bernyanyi untuk membuktikan piala tersebut asli (Liputan6.com, 21/3/2023).
Di tengah memburuknya citra bea dan cukai, muncul isu yang mengatakan pihak bea cukai ingin merekrut atau menggandeng influencer untuk memperbaiki nama baiknya. Hal tersebut bermula dari unggahan Tik-Tokers asal Lampung yang sempat viral setelah mengkritik pemerintah daerah Lampung terkait kondisi jalan yang rusak di sana. Bima mengunggah dalam akunnya bahwa ia dihubungi sebuah agensi yang memintanya membuat konten tentang bea cukai. Bukannya menerima tawaran tersebut, dia justru mengunggah isi percakapan dengan pihak agensi tersebut. Untuk hal ini, pihak bea cukai membantah telah menyewa jasa influencer atau buzzer.
Sementara itu, menanggapi berbagai kasus yang terlanjur viral di media sosial tersebut, Direktorat Jenderal Bea Cuka Kementerian Keuangan menegaskan barang kiriman dari luar negeri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2003 tentang ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman. Beleid yang berlaku efektif per 17 Oktober 2023 ini mengubah sejumlah ketentuan terkait dimana barang impor dengan nilai FOB US$3 hingga US$1.500 akan dipungut bea masuk flat 7,5 persen dan PPN 11 persen. Dengan begitu, pihak bea cukai mengaku telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur dan aturan yang berlaku.
Sedangkan menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kerja Bea Cukai merupakan tugas negara yang rumit. “Instansi Bea Cukai harus melakukan banyak peraturan-peraturan yang merupakan dari aturan berbagai kementerian/lembaga (K/L) “ kata Sri Mulyani dalam akun Instagram pribadinya @smindrawati, Minggu (28/4) (CNNIndonesia.com, 8/5/2024).
Memang benar, tidak ada yang bilang tugas mengurus negara itu mudah. Juga benar bahwa setiap lembaga harus mengikuti peraturan dan prosedur yang berlaku. Namun yang jadi pertanyaan, mengapa aturan yang dibuat oleh pemerintah justru mempersulit dan merugikan masyarakatnya? Bukankah seharusnya negara melindungi hak kepemilikan warga atas barang yang menjadi hak miliknya? Karenanya, negara semestinya mempermudah proses pengurusan barang impor milik warganya dengan membuat aturan yang tidak memberatkan.
Menarik pajak masuk hingga tiga kali lipat dari harga barang, mengambil pajak dari piala penghargaan dan barang hibah sungguh kebijakan yang tidak masuk akal.
Meskipun pihak bea cukai berusaha menjelaskan secara detail dan rinci tetap saja sulit dipahami. Dengan viralnya kasus bea cukai, akhirnya masyarakat luas tahu bagaimana buruknya kinerja oknum bea cukai. Beberapa kasus yang viral pun akhirnya ditangani dan diklarifikasi. Seperti kasus alat bantu untuk sekolah SLB yang tertahan selama dua tahun akhirnya diserahkan ke pihak sekolah. Disampaikan bahwa permasalahannya adalah miss-komunikasi karena baru terkuak kalau barang tersebut adalah barang hibah.
Seharusnya bea dan cukai segera berbenah dengan mengevaluasi kembali kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat. Jangan sampai masyarakat menjadi hilang kepercayaan terhadap lembaga negara dan menilai bahwa semua masalah yang melibatkan lembaga negara harus diviralkan dulu baru ditangani dengan baik, no viral no justice!
Salah satu ciri khas penerapan sistem kapitalisme adalah menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Jadi pajak akan dipungut dari berbagai sektor dan dikenakan kepada seluruh masyarakat baik kaya ataupun miskin. Rakyat dipaksa harus membayar pajak sebagai bentuk kewajiban menjadi warga negara. Padahal rakyat bekerja dengan jerih payahnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin hari makin tinggi. Di tengah kenaikan harga-harga barang kebutuhan, biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya, masyarakat masih dibebani dengan iuran berbagai pajak, pungutan pajak justru diperluas. Bahan kebutuhan pokok pun tak luput dari pun pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sedangkan dalam sistem Islam, pajak bukanlah sumber utama pemasukan negara, bahkan pajak yang disebut dengan jizyah ini hanya dikenakan terhadap kafir dzimmi (orang nonmuslim) laki-laki yang punya kemampuan finansial yang hidup dalam naungan Khilafah sebagai pengganti atas kehidupan, harta, dan jaminan keamanan mereka, serta kebebasan menjalankan ibadah-ibadahnya.
Adapun bea cukai dalam Khilafah telah diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Di mana pada masa itu wilayah negara Islam semakin luas dari arah barat sampai ke arah timur. Sebuah negara pasti membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa di dalam negeri. Karenanya, pertukaran barang antarnegara merupakan sebuah tuntutan. Khalifah Umar bin Khattab memiliki sebuah ide yang kemudian dimusyawarahkan dengan para sahabat, yakni menerapkan pajak atas barang yang masuk dari luar negeri/negara kafir.
Sebelum menentukan besaran pajak yang dikenakan, Khalifah Umar terlebih dulu mencari tahu seberapa besar negara non muslim mengambil cukai dari para pedagang muslim? Setelah mendapatkan jawaban bahwa cukai yang diambil adalah 10%, maka Khalifah segera memerintahkan para pegawainya untuk menetapkan pajak atas barang impor sebesar 10%. Namun, bila ada kondisi negara yang membutuhkan suatu barang tertentu, khalifah akan menetapkan aturan cukai khusus. Bisa jadi biaya cukai akan dipotong atau dibebaskan sama sekali. Begitulah gambaran jika nanti Khilafah tegak kembali, menghadapi perang dagang terhadap negara kafir dengan penuh percaya diri serta menunjukkan kemuliaan. Tidak akan pernah tunduk pada aturan dan tekanan asing. Wallahu a’lam bishawab.