
Oleh: Mata. A (Muslimah Gresik)
Linimasanews.id—Kasus anak berkonflik dengan hukum makin meningkat. Salah satu kasusnya, dilansir Sukabumiku.id (2/5/20024), pelajar SMP (14), ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan bocah berinisial MA (6). Tidak hanya dibunuh, anak yang baru mau duduk di sekolah dasar ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Polisi kini menetapkan pelaku sebagai tersangka dan berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Alarm sudah berbunyi keras, namun nahas, penanganan kriminalitas tak pernah mencapai titik tuntas. Dari waktu waktu, kejahatan justru makin bervariasi, alih-alih berkurang.
Banyak faktor yang menjadi pemicu, yang jika dirinci diharapkan bisa membuka mata seluruh elemen terkait agar tergerak untuk berbenah. Dengan begitu, nasib generasi yang sudah di ujung tanduk ini bisa diselamatkan.
Pertama, dari sisi keluarga. Sungguh keluarga memiliki andil besar. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak. Keluarga menjadi tempat anak hidup dan mengenyam pendidikan untuk kali pertama. Di sanalah fondasi kehidupan harusnya ditanamkan.
Di keluarga, anak diperkenalkan dengan Penguasa Yang Maha Besar, dipahamkan tujuan ia diciptakan, dan Hari Pembalasan yang nyata adanya. Pada tahap ini, keterlibatan orang tua adalah kunci utama.
Mirisnya, dewasa ini peran tersebut seperti barang mahal yang sulit diperoleh anak. Anak tidak mendapatkan haknya lantaran bapak sibuk bekerja dan menyerahkan pengasuhan pendidikan 100% ke tangan ibu. Di saat yang sama, ibu juga dibuat lupa diri dengan aktivitas mengejar materi demi menjunjung kesetaraan, kepuasan, dan agar ijazah tak berakhir sia-sia. Ujungnya, anak menjadi korban ambisi orang tua, terabaikan, kurang perhatian, dan mencari pelampiasan dengan melakukan aksi-aksi kriminal.
Di sisi lain, ada suatu kondisi yang mengharuskan si ibu turut terjun mencari tambahan penghasilan. Tak lain adalah kondisi ekonomi yang kurang, sementara biaya hidup, baik pangan, pendidikan, kesehatan dan lainnya makin mahal. Pada kondisi ini, pihak yang patut disalahkan adalah langgengnya sistem kapitalisme yang sengaja dipelihara.
Kapitalisme meniscayakan perputaran harta hanya terjadi di kalangan elite korporat dan menimbulkan efek kesenjangan sosial. Kapitalisme juga meniscayakan hilangnya bentuk pengurusan rakyat oleh penguasa. Alhasil, tak sedikit pasangan orang tua mati-matian mengejar materi demi tercukupinya kebutuhan karena negara tidak 100% bertanggung jawab.
Kedua, pendidikan formal nyatanya tak berakhir optimal. Kurikulum yang ada hanya di-setting untuk melahirkan generasi siap kerja, tanpa memberi perhatian penuh pada aspek moral dan agama. Alhasil, banyak dijumpai generasi gagal dan terjebak pada huru-hara aksi kriminal. Bahkan, kasarnya, mereka justru menjadi sampah masyarakat yang kehadirannya tak diharapkan.
Kondisi ini tak lepas dari keberadaan sistem kapitalisme yang masih mencengkram institusi pendidikan. Dalam sistem ini, generasi dipandang sukses ketika mereka mampu berdikari dan menghasilkan uang sendiri.
Di samping itu, sekularisme juga menjadi momok tersendiri. Ironisnya, justru menjadi fondasi/asas dibangunnya kurikulum pendidikan. Dalam sistem ini, peran agama sebisa mungkin diminimalisasi dan dijauhkan dari peserta didik dengan berbagai metode/program, seperti moderasi. Program busuk tersebut dibalut begitu manis layaknya madu agar diminati. Alhasil, generasi justru makin bergerak liar lantaran peran agama yang notabene bisa berfungsi sebagai rem, ditinggalkan.
Ketiga, sanksi yang tidak menjerakan. Sudah menjadi rahasia umum realitas perjalanan hukum di negara ini. Alasan di bawah umur/pelaku anak anak (usia kurang dari 18 tahun), hukuman yang ada pada akhirnya tidak berhasil menekan angka kejahatan. Sebaliknya, memancing para pelaku lain untuk melakukan tindakan serupa.
Kompleksnya faktor penyebab meningkatnya angka kriminalitas dengan pelaku berstatus pelajar ini harusnya menjadi titik terang bahwa semua faktor tersebut harus diatasi. Jika kapitalisme tidak bisa diharapkan, bahkan justru menjadi sumber kerusakan itu sendiri, maka apa yang menghalangi manusia untuk melirik pada solusi konkrit yang ditawarkan oleh Islam?
Sebagai negara mayoritas muslim, tentu meyakini agamanya sebagai agama yang sempurna merupakan sebuah kewajiban. Karena itu, tidak ada keraguan bagi para pemeluk Islam untuk menerapkan seluruh aturan yang ada di dalam Islam.
Dalam mengatasi problem ini, dibutuhkan peran besar dari pihak orang tua sebagai garda pertama penanaman pendidikan. Harus ada kesadaran dan pemahaman utuh bahwa fungsi utama seorang ibu adalah pendidik pertama bagi anak anaknya. Fungsi ini tidak boleh dikalahkan oleh fungsi ekonomi yang menganggap bahwa perempuan berdaya ketika mampu menghasilkan materi sendiri.
Para orang tua tentu tidak bergerak sendiri. Negara sebagai pilar terbesar yang memiliki otonomi penuh dalam menerapkan Islam secara menyeluruh, harus pula menjadikan Islam sebagai asas bagi seluruh peraturan/sistem, termasuk perekonomian. Dalam hal ini, sumber kekayaan dikelola dan didistribusikan dengan semestinya sebagaimana tuntunan syariat. Dengan begitu, keluarga bisa fokus pada perannya dan tidak lagi terbebani dengan biaya pendidikan dan kesehatan karena negara mampu memberinya secara gratis.
Eksistensi negara juga hadir dalam mewujudkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Di lembaga ini, peserta didik tidak sekadar difokuskan untuk belajar akademis, tetapi juga dilakukan penguatan dari sisi agama. Dengan begitu, output yang dihasilkan tidak sekadar cerdas dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga cerdas dalam berkepribadian yang menjadikan Islam sebagai acuan.
Poin yang tak kalah penting adalah sanksi, dengan negara sebagai satu-satunya penanggung jawab pelaksana. Berpedoman pada aturan Islam, maka usia tidak menjadi penentu sebuah sanksi. Artinya, tidak ada istilah di bawah umur untuk meringankan sanksi. Standar yang digunakan adalah baligh, dengan sanksi yang bersifat tegas dan tidak dapat berubah.
Semua solusi di atas adalah solusi berkesinambungan yang satu sama lainnya diikat oleh Islam. Artinya, tidak akan berhasil penanganan problem ini jika umat hanya fokus pada satu aspek saja. Oleh karena itu, dibutuhkan totalitas perjuangan dari seluruh elemen umat agar Islam makin diminati sebagai sistem hidup, bukan sekadar agama ritual yang dicukupkan pada aspek ibadah saja.