
Oleh. Rini Rahayu
(Aktivis Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial dan Ekonomi)
“Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa”
Linimasanews.id—Kalimat di atas identik dengan bentuk penghormatan terhadap profesi guru atau dosen. Di mana mereka berjuang tanpa pamrih demi mencerdaskan anak bangsa. Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya/profesinya) mengajar. Sedangkan Dosen adalah tenaga pengajar pada perguruan tinggi. Perbedaan antara keduanya adalah guru tidak dibebankan dalam kewajiban meneliti dan mengabdi kepada masyarakat. Sedangkan dosen, selain mendidik, diwajibkan pula meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.
Dari definisi tersebut, sudah jelas bahwa dosen mempunyai tanggung jawab lebih banyak. Ironisnya, profesi yang mulia ini, kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dosen tidak hanya butuh penghargaan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi mereka pun membutuhkan apresiasi berupa materi agar dapat optimal dalam mentransfer ilmunya dan tidak disibukkan mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhannya.
Dunia pendidikan kita yang masih penuh ironi ini tak kunjung memperlihatkan peningkatan. Bahkan pemerintah hingga saat ini belum menunjukkan kepeduliannya secara serius. Kebijakan pemerintah terlihat masih tumpang tindih dan terkesan tambal sulam. Demikian pula dalam masalah kesejahteraan dosen. Mereka memperoleh gaji yang jauh dari sejahtera. Terutama dosen muda, mereka memperoleh gaji Rp2.460.600,00 dan gaji pertama yang diterima hanya 80% nya saja yaitu Rp2.048.480,00. Slip gaji ini diungkap oleh seorang “dosen asisten ahli”. Kemudian dosen lain juga meng-upload slip gajinya. Ternyata take home pay-nya hanya mentok pada angka Rp3.504.000,00 (bangsaonline.com, 3/5/2024)
Dosen adalah profesi yang istimewa. Dosen mempunyai peran yang sangat penting dalam mencerdaskan bangsa serta menyandang tugas yang mulia walaupun pada kenyataannya mereka tidak dimuliakan. Gaji dosen di Indonesia sangat memprihatinkan dibandingkan dengan gaji dosen luar negeri.
Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp3.000.000. Besaran ini merupakan gaji dosen yang sudah mengabdi selama lebih dari enam tahun. Bahkan sekitar 76 persen responden yang berprofesi sebagai dosen, mengaku harus kerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya (Tempo.co, 2/5/2024). Jadi apakah cukup hanya dengan memberikan penghargaan dan penghormatan pada profesi ini, tetapi kesejahteraan mereka terabaikan?
Sistem Kapitalisme Penyebab Rendahnya Kesejahteraan Dosen
Rendahnya gaji dosen ini menggambarkan rendahnya perhatian dan penghargaan negara atas profesi dosen. Di mana dosen adalah sebagai penyebar ilmu dan membangun karakter mahasiswa. Dosen juga sebagai agen perubahan calon pemimpin masa depan.
Namun, kapitalisme telah menggerus penghargaan atas jasa besar para dosen dengan prinsip materi yang diagung-agungkan dan dianggap sebagai suatu hal yang berharga. Dunia pendidikan pun tak luput dari sentuhan sistem kapitalisme. Walaupun kuliah di perguruan tinggi berbiaya mahal, ternyata tak sebanding dengan gaji yang diterima oleh para dosen.
Islam Memuliakan Tenaga Pendidik
Islam merupakan sistem yang mengatur semua sendi kehidupan manusia. Karena Islam diturunkan langsung dari Sang Khalik atau Pencipta, maka hanya Islam yang mampu mengatur dan yang paling mengerti kebutuhan manusia sebagai ciptaan Nya. Demikian pula dalam dunia pendidikan, Islam sangat menghargai ilmu dan menjunjung tinggi para pemilik ilmu termasuk yang mengajarkan ilmu.
Dosen sebagai pendidik calon pemimpin peradaban masa depan, tentu saja mempunyai posisi strategis dan mulia. Oleh karena itu, Islam sangat menghargai dan memuliakan para dosen. Sebagaimana yang tercantum dalam Alquran surah Al-Mujadilah ayat 11,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda,
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة
“Barang siapa memuliakan orang alim (guru) maka ia memuliakan aku. Dan barang siapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah. Dan barang siapa memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga.” (Kitab Lubabul Hadits)
Demikian Islam sangat memuliakan dosen. Bahkan sejarah Islam mencatat bagaimana pemuliaan Islam terhadap para dosen. Di masa Daulah Abbasiyyah, kesejahteraan para guru sangat diperhatikan oleh pemerintah. Mereka diberikan gaji yang sangat besar jika dibandingkan dengan gaji para guru saat ini. Gaji yang fantastis ini tidak hanya diberikan pada pengajar yang mendidik putra khalifah tetapi juga untuk tenaga pengajar di masyarakat.
Sebagai contoh, ulama yang turut mengajar para putra khalifah adalah Imam Al-Kisa’i yang mengajar putra Harun Al-Rasyid. Sebagai upah awal, sang khalifah memberinya 10.000 dirham, seorang budak perempuan yang cantik serta kebutuhannya, beberapa pelayan, dan seekor kuda pembawa barang beserta peralatannya. Bayaran yang melimpah juga diberikan kepada Ibnu As-Sikkit yang mengajar putra-putra Khalifah Al-Mutawakkil. Beliau diberi upah mencapai 50.000 dinar di luar gaji rutin sepanjang hidup, tempat tinggal, makanan, dan hadiah-hadiah lainnya (Az-Zahrani, 177-178).
Itulah beberapa contoh bahwa pada masa Khilafah kesejahteraan para pengajar begitu dimuliakan dan diperhatikan. Jadi, hanya sistem Islam yang sempurna dalam mengatur umat. Wallahu a’lam.