
Oleh: Raihana Hazimah
Linimasanews.id—Masih hangat di telinga, teriakan memelas Gibran, bocah 7 tahun di Bojonggede, Bogor yang merengek meminta makan pada ibunya, karena sudah begitu kelaparan. “Mau makan, Ma. Mau makan, aku udah lapar!” Berulang-ulang kalimat itu ia teriakkan sambil menangis terduduk di depan rumahnya. Alih-alih diberikan makanan, justru makian kasar dan guyuran air yang diterima si bocah malang dari sang ibu. Video Gibran ini pertama kali diunggah akun @ahmadsaugi31 di Instagramnya.
Beberapa waktu kemudian, video tersebut viral dan sampai ke camat setempat. Maka berbondong-bondonglah perangkat desa, mulai dari RW, kepala desa, hingga tim kecamatan meninjau ke lokasi. Alhasil, didapat informasi, ternyata keluarga ini termasuk kategori keluarga miskin dengan penghasilan tidak tetap. Ayah bocah tersebut bekerja sebagai buruh bangunan, yang penghasilannya tidak menentu, dengan tanggungan istri dan 3 orang anak. Keluarga ini pun ternyata belum masuk ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), karena belum memiliki Kartu Keluarga (KK) yang semestinya (detik.com, 07/05/2024).
Kisah Gibran ini hanyalah selembar potret kemiskinan yang muncul ke permukaan, setelah viral di media sosial. Selain Gibran dan keluarga, kenyataannya masih banyak potret keluarga miskin lainnya yang sama-sama tertatih mengais penghidupan, di balik jurang kesenjangan sosial. Teriakan kelaparan Gibran, seakan juga mewakili teriakan dan jerit masyarakat miskin lainnya di negeri ini, akibat penguasa menerapkan sistem berkehidupan, yang menjadikan banyak rakyat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Ketika banyak ditemukan fakta keluarga yang tertatih-tatih, bahkan tak mampu memenuhi kebutuhan dasar tiap kepala dalam anggota keluarganya, ini seharusnya sudah masuk pada indikasi kemiskinan. Namun, fakta ini seperti tak selaras dengan laporan dari Bank Dunia, yang menyatakan bahwa Indonesia telah mencapai hasil yang mengesankan dalam pengentasan kemiskinan ekstrem, dalam laporannya yang bertajuk “Indonesia Poverty Assessment,” 2023 lalu (kemenkopmk.go.id, 23/08/2023).
Didukung pula dengan data teranyar dari Badan Pusat Statistik, yang menyatakan angka kemiskinan nasional per Maret 2023 adalah 9,36 persen atau 25,9 juta orang, turun dari level saat pandemi meski belum kembali ke kondisi prapandemi. Namun, banyak pihak menilai, angka kemiskinan nasional itu belum menggambarkan kondisi riil. Masih banyak orang miskin yang “tersembunyi” di Indonesia. Mereka adalah kelompok yang sebenarnya hidup rentan, tetapi sudah tidak lagi dikategorikan miskin karena sudah naik di atas garis kemiskinan (kompas.id, 13/01/2024).
Penilaian ini salah satunya muncul dari Peneliti utama SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, yang menyatakan bahwa data kemiskinan di Indonesia tidak akurat. Karena pengukurannya masih mengacu pada standar garis kemiskinan yang usang dan terlalu rendah, yaitu metodologi yang berlaku sejak tahun 1998 dan hingga kini metodologi tersebut belum pernah dievaluasi.
Sudah saatnya penguasa merevisi metode tersebut, sehingga data kemiskinan yang sebenarnya bisa terungkap ke publik dan lebih banyak pula masyarakat rentan yang bisa dilindungi pemerintah lewat perlindungan sosial. Setelah selama ini mereka tidak bisa mengakses bantuan sosial karena dianggap non-miskin (kompas.id, 15/01/2024).
Mengurai Akar Masalah
Mencermati fakta-fakta dan penilaian dari para ahli, tampak bahwa ketidakmampuan banyak masyarakat hari ini untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, bukanlah semata problem individu. Ada problem sistemis yang mendasarinya, hingga banyak masyarakat yang tak tersentuh jaring pengaman sosial dan penjaminan pemenuhan hak dasar mereka oleh negara.
Segala otak-atik angka dan hilangnya perlindungan bagi masyarakat ini, terjadi akibat problem sistemis dari diterapkannya sistem Kapitalis di negeri ini. Sistem ini memang meniscayakan kesenjangan sosial yang sangat dalam di tengah masyarakat.
Sejumlah harta dapat menumpuk pada segolongan orang, sedangkan yang lainnya ibarat hanya mendapat remahan, bahkan ada yang tidak mendapatkan sama sekali. Hal ini disebabkan, sistem ini memang menghilangkan peran negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Lalu membatasinya hanya sebagai regulator, yang memberikan fasilitas dan izin bagi para pemilik modal (pebisnis) untuk menguasai, mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan negara.
Dengan izin yang difasilitasi negara, para pemilik modal dengan orientasi untung-rugi ini, juga bisa dengan bebas menguasai pos-pos kebutuhan dasar masyarakat, lalu mengomersialkannya. Sehingga ketika kebutuhan mendasar mulai berjalan dalam bingkai untung rugi, maka masyarakat harus berjuang keras dalam upaya meraih pemenuhan kebutuhan dasar mereka yang telah dikomersialisasi para pebisnis ini.
Meski pada dasarnya setiap individu memang sudah selayaknya memiliki keuletan dalam meraih sumber-sumber rezeki, namun kondisi hari ini bukan karena para individu ini tidak mau berusaha, melainkan ada hukum rimba yang dilahirkan oleh sistem Kapitalis. Siapa yang kuat, ia akan mendominasi. Siapa yang lemah, bersiap saja gigit jari. Sungguh miris.
Konsep Islam
Islam memiliki konsep yang khas dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa mengabaikan kewajiban para wali (laki-laki) untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Karena kewajiban nafkah telah Allah bebankan kepada para wali. Maka Islam mewajibkan laki-laki untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan tanggungannya. Bagi mereka yang tidak memiliki keluarga dan tidak mampu mencari nafkah, syariat Islam mewajibkan kepada negara melalui baitul mal, untuk menafkahinya. Karena dalam Islam, itu merupakan tanggung jawab negara.
Dalam Islam, pemimpin memiliki peran penting dalam penjaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR Bukhari)
Dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah dikisahkan bahwa pada masa paceklik dan banyak rakyat kesulitan, Khalifah Umar ra. rela hanya makan roti kering yang dilumuri minyak hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Beliau berkata, “Akulah sejelek-jelek kepala negara jika aku kenyang, sedangkan rakyatku kelaparan.”
Apakah kenegarawanan dan kepedulian seorang Khalifah Umar bin Khaththab sudah nampak atau pernah dilakukan oleh penguasa negeri kita hari ini? Jika pun secara pribadi ada yang nampak seperti itu, namun kenegarawanan Khalifah Umar bin Khaththab akan sulit terwujud tanpa adanya sistem yang mendukung. Keteladanan kepemimpinan Khalifah Umar, selain karena berasal dari ketakwaan seorang pemimpin kepada Allah Swt., juga karena para pemimpin dahulu menerapkan aturan Allah, yaitu sistem Islam sebagai landasan mengurus rakyat dan negara.
Abdullah bin Abbas ra. juga pernah menuturkan, “Setiap kali usai salat, Khalifah Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa pun yang mengadukan suatu keperluan, ia segera meneliti keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis salat subuh hingga matahari mulai naik, memperhatikan keperluan rakyatnya, setelah itu baru ia kembali ke rumah.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat, 3/288; Tarikh ath-Thabari, 2/565)
Miris ketika dibandingkan dengan kondisi hari ini, untuk mendapatkan kehadiran penguasa dan negara dalam penyelesaian segala problem rakyat, perlu viral dulu baru negara hadir di sisi rakyat. Sementara dalam Islam, tidak perlu menunggu viral untuk mendapat perhatian penguasa. Penguasa memahami betul tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat, juga memahami bahwa Allah akan menghisab mereka mengenai amanah yang dipercayakan rakyat kepadanya.
Maka problem kemiskinan secara sistematis ini tentu membutuhkan solusi sistemik pula. Kita sudah bisa menilai, sistem Kapitalis yang diterapkan negara saat ini, jelas telah nampak kerusakan dari dasarnya, juga bisa kita rasakan kegagalannya dalam mengentaskan problem kemiskinan dan beragam problem umat hari ini. Sementara Islam dengan syariatnya yang khas dan lengkap, jika kita menilik dari sejarah penerapannya, terbukti dan tak terbantahkan keberhasilan dan kegemilangannya menjadi aturan sekaligus solusi bagi kehidupan umat.
Ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana Islam mampu menjadi aturan dan solusi terbaik bagi kehidupan? Mari mengkaji Islam secara menyeluruh dan secara intensif, baik kita masyarakat umum, juga pastinya para ahli dan pemimpin negeri. Sehingga kita bisa bersama-sama memiliki gambaran yang utuh dan mengambil kembali sistem Islam, sebagai sistem terbaik yang harus kembali diterapkan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishshowab.