
Oleh: Mutiara Hasanah, S.ST.
Linimasanews.id—Penduduk usia muda di Indonesia berkisar antara 15-24 tahun dengan jumlah 9,9 juta dicatatkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai angkatan muda tanpa kegiatan (edukasi, pekerjaan, dan pelatihan). Kisaran usia ini merupakan usia Gen Z yang seharusnya berada di masa produktif.
Beragam alasan yang menjadikan pemuda masuk ke kelompok ini. Dirilis oleh CNBC Indonesia (175/2024), penyebabnya, seperti disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, kewajiban rumah tangga, putus asa, dan lainnya.
Pemuda yang tidak bekerja dan tidak bersekolah dianggap tidak produktif oleh negara karena potensinya tidak diberdayakan. Jika potensinya tidak diberdayakan, dianggap akan meningkatkan risiko penurunan tarikan pajak. Ini sangat disayangkan, alih-alih menyelamatkan Gen Z agar dapat menyiapkan masa depan cemerlang bagi mereka, pemerintah justru memandang pertumbuhan pajak dan ekonomi akan melemah jika Gen Z tanpa kegiatan ini dibiarkan.
Sistem kapitalistik ini memang problematik. Bagaimana tidak, asas inilah yang menghalalkan pajak terus menerus disedot dari pundi-pundi rakyat di tengah tingkat pengangguran yang masih tinggi. Sistem kapitalisme jugalah yang membuat kekayaan negara dan umat seperti SDA diserahkan kepada pihak yang tidak berhak, yakni perusahaan lokal, swasta maupun luar negeri. Padahal, dengan solusi Islam, pengelolaan SDA secara mandiri dapat diwujudkan. Selanjutnya, hasilnya akan memberi keuntungan kepada umat, yakni melalui mekanisme pembiayaan pendidikan, kesehatan, keamanan gratis dan terjangkau.
Dalam infografiknya, Datanesia merilis angkatan kerja Indonesia lulusan SD kebawah sebanyak 39% dan SMP sejumlah 18%. Ini menunjukkan lebih dari setengah angkatan kerja Indonesia masih berpendidikan rendah. Maka sungguh relevan solusi sistem Islam di atas jika pemerintah mau mengentaskan pengangguran dan menyelesaikan soal pendidikan mahal melalui pendidikan gratis. Yaitu, dengan mekanisme hasil pengelolaan kekayaan umat (berupa sumber daya alam) dikembalikan pada umat.
Islam dengan sistem khilafah bersungguh-sungguh menyiapkan pemuda menjadi generasi unggulan, bukan generasi beban. Beberapa hal ini dilakukan oleh negara sebagai ra’in (pelayan) bagi rakyatnya.
Pertama, negara melalui Departemen Pendidikan menyelenggarakan pendidikan yang mampu menghasilkan para teknokrat dan saintis ber-syakhsiyah (berkepribadian) Islam. Mereka mampu mengelola SDA menjadi basis kekuatan militer yang kuat dan modern. Pembiayaan pendidikan ini sepenuhnya dijamin oleh negara sehingga rakyat menikmati cuma-cuma.
Kedua, industri yang berhubungan dengan kekayaan milik umum wajib didirikan sehingga kalangan masyarakat, utamanya pemuda, dapat terserap sebagai tenaga kerja profesionalnya. SDM unggul ini akan mengelola kekayaan umum sesuai syariat Islam dan kemaslahatan masyarakat.
Ketiga, mencetak pemimpin dan negarawan andal, bukan pengangguran berandal. Pendidikan tinggi negara akan mencetak para ulama, mujtahid, pakar, pemikir, pemimpin, qadhi, serta fuqaha yang terdepan menjaga umat dengan tsaqafah.
Inilah kesungguhan Islam dalam memosisikan peran strategis pemuda sebagai tulang punggung pergerakan dan kemajuan peradaban Islam. Sedangkan sistem kapitalisme, hanya memandulkan peran pemuda dengan menganggapnya sebagai sapi perah atas pertumbuhan ekonomi korporat, di sisi lain aktif memalak rakyat melalui pajak.
Sungguh umat membutuhkan sistem Islam dan kepemimpinan Islam untuk menyelamatkan generasi dari kerusakan akibat sistem sekuler kapitalisme.