
Oleh: Ummu Fifa (MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
Linimasanews.id—Santer diberitakan bahwa rektor di salah satu universitas negeri memolisikan salah satu mahasiswanya. Pasalnya, mahasiswa tersebut bersama sejumlah mahasiswa lainnya yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) mengkritik mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pembangunan institusi (IPI) di kampus tersebut.
Kabar ini akhirnya viral dan mengundang tanggapan serta pandangan dari berbagai pihak, khususnya pengamat pendidikan. Setelah beberapa hari berita ini bertengger di media, akhirnya sang rektor mencabut laporannya (detik.com, 13-05-2024).
Meroketnya UKT dan IPI menjadi polemik bagi mahasiswa atau calon mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Merujuk pada UU PTN, kampus yang berstatus PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga kependidikan (itjen.kemdikbud.go.id). Konsekuensi bagi perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan kebijakan PTNBH adalah pemerintah mengurangi perannya dalam masalah pendanaan pendidikan kampus.
Mengutip infomasi pada laman gatra.com, 15-05-2024, Plt. Sekretaris Ditjen Dikti Kemendikbud Ristek menegaskan bahwa pemerintah masih memprioritaskan pendanaan pendidikan untuk diimplementasikan dalam program wajib belajar 12 tahun. Sedangkan, jika menilik posisi pendidikan tinggi sebagai tertiary education atau pendidikan tingkat ketiga, pendidikan tinggi belum masuk sebagai kelompok pendidikan yang diberikan prioritas pendanaan. Biaya pendidikan akhirnya diserahkan kepada masyarakat, sebagai pihak yang merasa butuh terhadap pendidikan lanjut bagi putra putrinya.
Tak sedikit mahasiswa yang mengeluhkan ketidaksesuaian besaran UKT dengan kemampuan finansial orang tuanya. Beberapa dari mereka akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan, alias keluar dari PTN karena persoalan biaya.
Miris. Masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan pendidikan tinggi atau tidak. Tentunya pilihan tersebut didasarkan pada kemampuan finansial masing-masing. Mirisnya lagi, tak sedikit yang akhirnya menjadikan pinjol sebagai alternatif solusi pembiayaan UKT. Padahal, di tengah impitan hidup, tentunya pinjol bukanlah solusi tepat. Hal tersebut malah menggiring masyarakat menuju kehidupan yang lebih buruk.
Semua ini berpangkal dari kebijakan ekonomi kapitalis yang memiliki ciri khas menyerahkan ketersediaan seluruh produk kebutuhan masyarakat (tak terkecuali sektor jasa/pendidikan) pada mekanisme pasar bebas. Dampaknya adalah segala kebutuhan hidup masyarakat menjadi lahan komersial bagi mereka yang memiliki modal kuat. Sektor pendidikan tak luput dijadikan sebagai barang dagangan. Maka tak aneh, corak pendidikan di negeri ini bernuansa materialistik.
Berbeda dengan arah pandang kapitalis, Islam menggariskan pendidikan sebagai kebutuhan primer kolektif (selain kesehatan dan keamanan). Sebagaimana tertulis dalam hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas r.a., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” Berlandaskan tuntunan inilah, negara bertanggung jawab memberikan pelayanan pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Negara dalam pandangan Islam tidak mengklasifikasikan pendanaan pada sektor pendidikan. Setiap warga negara secara ideal akan diberi kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan, tanpa membedakan tingkat kemampuan ekonomi keluarganya.
Terkait masalah pendanaan, sistem ekonomi Islam telah menggariskan bahwa seluruh sumber daya alam yang memiliki potensi berlimpah adalah milik rakyat. Negara hanya diberi kewenangan untuk mampu mengelolanya, bukan memiliki. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput (gembalaan) dan api.” (H.R Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah). Artinya, SDA tersebut sejatinya milik seluruh warga negara bukan milik negara.
Negara seperti Indonesia, sudah terbukti memiliki potensi kekayaan SDA sangat besar. Sayangnya, tak pernah habis kasus korupsi dengan nilai fantastis dari tahun ke tahun. Ditambah lagi, jumlah kekayaan yang mengalir ke pengusaha swasta, baik asing maupun lokal, tak terhitung kuantitas dan kualitasnya sejak negeri ini menyatakan kemerdekaannya, terutama SDA dari sektor pertambangan.
Tentunya masyarakat akan dapat merasakan manfaatnya apabila berkelimpahan potensi SDA tersebut dikelola oleh penguasa yang menjalankan aturan bernegara berdasarkan kehendak Sang Pencipta. Yaitu, penguasa yang senantiasa mengingat hari penghisaban, sehingga tidak terbesit dalam benaknya untuk mengkhianati rakyat, apalagi sampai menyengsarakan hidup rakyat.
Dengan sistem Islam, akhirnya bukan hanya sektor pendidikan yang mampu difasilitasi negara, tetapi juga mencakup seluruh sektor kehidupan masyarakat, tanpa kecuali.