
Oleh: Hanimatul Umah
Linimasanews.id—Menghadapi banyaknya penyakit dan penularan virus, hendaknya manusia berikhtiar mencari kesembuhan dan penyebab datangnya suatu penyakit, kemudian berusaha mendapatkan obat bagi kesembuhan. Seperti dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Rad: 11)
Begitulah pula semestinya dalam hal Kasus penyakit DBD (demam berdarah dengue). Baru-baru ini, DBD melonjak di Kabupaten Bekasi. Ada 736 kasus hingga Mei 2024 yang tercatat di Dinkes (Dinas kesehatan) setempat. Data April 2024 menyebut, angka kematian berjumlah empat orang, dua pasien warga Tambun, satu orang pasien Telagamurni dan satu lainnya warga Sukatani (Radarbekasi.id, 17/5/2024).
Akan adanya ancaman kematian akibat DBD ini, pihak terkait telah berupaya melakukan pencegahan. Bahkan, sejak lama telah diupayakan mencegah dengan 3M (Menguras bak mandi, Menutup tampungan air dan Mendaur ulang), serta fogging/pengasapan agar populasi jentik nyamuk Aedes Aegypti menurun.
Mengapa DBD Tak Kunjung Selesai?
Pemerintah telah bekerja sama dengan lembaga kesehatan (Kemenkes), dan para peneliti Monash University, Australia, yaitu lembaga non pemerintah milik untuk mengembangkan riset WMP (World Mosquito Program) guna mengendalikan penyebaran nyamuk dengan menerapkan teknologi nyamuk ber-Wolbachia di Bali (Kompas.com 23/4/2024). Sebelumnya, program ini telah diuji pada pertengahan November 2023 di lima kota, yaitu Yogyakarta, Jakarta Barat, Semarang, Bontang, dan Kupang. Akan tetapi, hingga saat ini belum menuntaskan problem penyakit DBD.
Di sisi lain, penyelesaian dengan metode ini menuai pro dan kontra. Dukungan program tersebut dipandang sangat perlu untuk mengurangi populasi nyamuk penyebar virus penyebab demam berdarah dengue.
Sedangkan pihak yang kontra menilai, antara lain sulit membedakan antara nyamuk ber-wolbachia atau bukan. Di sisi lain, nyamuk dianggap penting bagi keberlangsungan kehidupan bagi serangga lain, sehingga akan menimbulkan dampak bagi jangka panjang. Di samping itu, riset tersebut telah membutuhkan waktu, dan dana yang tidak sedikit, yang pada akhirnya tidak dapat menuntaskan persoalan rantai penyebaran virus ini.
Jika dicermati lebih lanjut, lagi-lagi pengaturan yang berpijak pada kapitalisme berdampak pada ekosistem kehidupan. Kapitalisme tidak dapat menuntaskan berbagai permasalahan sampai ke akarnya. Kemiskinan pun terjadi akibat kapitalisme ini. Masyarakat yang bertaraf hidup miskin makin kesulitan mempertahankan hidup, lemah karena kekurangan gizi. Hal ini menjadi salah satu penyebab penyakit mudah datang.
Islam Menjaga Keseimbangan Alam
Jika dalam penanganan kasus penyakit ini tidak komprehensif, besar kemungkinan wabah DBD akan terus merebak luas. Oleh karena itu, butuh tindakan dan pengaturan khusus, yaitu sesuai paradigma Islam.
Dalam Islam, negara bertanggung jawab terhadap pengaturan SDA sesuai hukum syarak sehingga keseimbangan ekosistem alam terjaga. Islam mengatur kepemilikan umum dan negara sehingga sumber pendapatan negara cukup untuk memenuhi kesejahteraan umat.
Dengan sistem Islam negara mudah melakukan riset/penelitian, tanpa terkendala biaya maupun ilmuwan andal. Jikapun perlu didatangkan pakar dari luar negeri, maka kepala negara (khalifah) memiliki wewenang dalam pengawasan terkait transparansi litbang (penelitian dan pengembangannya).
Di samping itu, melalui Departemen Kemaslahatan Umat negara dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat pentingnya hidup bersih dan sehat. Dengan suasana keimanan dari negara, masyarakat, dan individu, terciptalah kesejahteraan umat. Semua ini akan tercapai hanya dengan penerapan Islam secara kafah.