
Oleh: Hanimatul Umah
Linimasanews.id—Kemajuan ekonomi sering kali ditandai dengan pembangunan berbagai infrastruktur dan sarana seperti jalan, jembatan, dan lainnya, tak terkecuali adanya pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) bertujuan untuk efisiensi waktu dan mengatasi kemacetan serta mencegah polusi udara. Meskipun begitu, tampak di luar indah, namun di dalam belum tentu sama. Pasalnya, pembangunan tersebut diperoleh dari utang luar negeri.
Dilansir dari Kompas.com (14/5/2024), Pemerintah Kota Bekasi akan segera membangun jalur MRT Tomang(Jakarta)-Medan Satria (Bekasi) dengan biaya dari hasil pinjaman Pemerintah Jepang. Senilai 140,69 milliar yen atau setara Rp14,5 trilliun. Keseluruhan pembangunan MRT sepanjang 84 kilometer membentang dari timur hingga barat yaitu dari Cikarang sampai Banten. Adapun bunga pinjamannya 0,3 persen per tahun.
Pembangunan ala Kapitalisme
Sekilas hal ini merupakan sebuah kabar gembira bagi masyarakat khususnya di Bekasi/Medan Satria dan sekitarnya. Mereka akan menikmati sarana transportasi di tengah kemacetan nan mengular pada jam keberangkatan kerja. Secara pragmatis, semua itu sangatlah memberi banyak manfaat bagi masyarakat. Namun, perlu dipertimbangkan secara jangka panjang, justru negara terlilit utang luar negeri. Akibatnya, kedaulatan negara pun seolah tergadaikan.
Lebih dari itu, dalam sistem kapitalisme, meniscayakan pembangunan tanpa melihat urgensitasnya. Masyarakat di sana pun tengah mendapati moda transportasi berupa KRL (Kereta Rel Listrik). Pembangunan ala kapitalisme hanya memandang dari segi kemanfaatan dan keuntungan para pemilik modal/investor. Tidak pula memandang halal dan haram dari bunga utang karena sekularisme yang menjadi ideologinya.
Di samping itu, masalah pembebasan lahan pembangunan yang acap kali menyulut konflik tanah masyarakat dalam proses pembebasan lahan. Seperti kasus pembebasan lahan pada pembangunan KCKB (Kereta Cepat Jakarta-Bandung), warga Pengasinan Kota Bekasi hingga kini belum mendapatkan ganti rugi (Hinews.com, 2/12/23). Inilah topeng kapitalisme, dampak pembangunan gencar keadilan rakyat terpencar dan dirugikan.
Diperparah adanya pemberlakuan proyek tersebut dengan persyaratan khusus untuk Kemitraan Ekonomi (STEP) berupa transfer teknologi dan pengetahuan ini, artinya negara kita makin tidak mandiri dan wibawa secara teknologi dan di bawah pengendalian dan kepentingan bahkan tekanan asing.
Pembangunan Versi Islam
Pembangunan versi Islam berbeda dengan kapitalisme sekuler yang sarat kepentingan oligarki. Negara dalam Islam membangun peradaban dunia dengan pesat berpijak pada aturan syarak. Dari segi pendanaan, negara tidak mengandalkan utang sebab memiliki banyak sumber pemasukan yang mengalir ke kas negara/Baitul Mal. Baitul Mal diperoleh dari pemasukan kharaj, fai, jizyah, zakat, pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) baik tambang, minyak, dan perhutanan.
Negara memandang melakukan aktivitas apa pun demi kemaslahatan dan periayahan umat, bukan memandang keuntungan. Jika dirasa itu suatu kebutuhan maka negara akan membangun, akan tetapi jika tidak maka negara tidak melakukannya. Negara menerapkan politik luar negeri yaitu hubungan dengan negara di luar Daulah Islam dengan asas penyebaran Islam dengan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia beserta jihad.
Islam juga mengharamkan transaksi riba, sebagaimana ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275 -281 surah Ali Imran ayat 130. Dalam hal ini negara berpegang teguh dengan menerapkan ekonomi Islam nonribawi. Sebab, negara bertanggung jawab dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah di muka bumi. Sabda Rasulullah, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hanya dalam sistem kekhilafahan Islam negara dapat menerapkan syariat Islam secara paripurna. Wallahu a’lam bishowab.