
Oleh: Weny ZN
(Aktivis dakwah Kepri)
Linimasanews.id—Belakangan ini, ramai diperbincangkan tentang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Bahkan ada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memberlakukan uang pangkal untuk masuk perkuliahan. Biayanya setiap tahun semakin naik berkali-kali lipat. Kenaikan UKT ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan akan sangat memberatkan bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Seperti yang dialami oleh Siti Aisyah, gadis berusia 18 tahun yang diterima berkuliah di Universitas Riau atau UNRI melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Tapi, terpaksa harus mundur karena orang tuanya tidak sanggup membayar UKT. Siti sempat meminta pihak kampus agar diberi keringanan tapi Siti mendapat UKT golongan 5 yang biayanya sekitar Rp4,8 juta per semester. UKT terendah pun masih mahal hingga membuat ayahnya tak mampu membayar biaya tersebut karena ayah Siti sendiri hanya bekerja serabutan sehingga pendapatan tiap hari tak bisa dipastikan. Alhasil, kisah Siti Aisyah ini pun menjadi sorotan publik dan viral di media sosial (Kompas.id, 24/5/2024).
Selain Siti, ada sekitar 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) yang memutuskan mundur dari Universitas Riau karena merasa tidak sanggup untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Hal itu diungkapkan oleh Presiden Mahasiswa UNRI, Muhammad Ravi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Komisi X DPR pada Kamis (16/5/2024).
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbud Ristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie memberikan pernyataan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun, yakni dari SD, SMP, hingga SMA. Ini berarti bahwa lulusan SD, SMP, SMA/SMK tidak wajib untuk masuk ke perguruan tinggi. Namun, pernyataan itu menuai banyak protes dari sejumlah pihak, terutama mahasiswa.
UKT adalah biaya kuliah yang wajib dibayar mahasiswa di setiap semester yang tujuannya untuk membantu meringankan biaya pendidikan mahasiswa dan orang tua mahasiswa dimana besaran biayanya akan disesuaikan dengan pendapatan orang tuanya. UKT sudah diterapkan sejak tahun 2013 sesuai dengan aturan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 yang kemudian direvisi dalam Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015 yang menerapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
Pada faktanya, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti hanya 0,6% dari APBN atau sekitar Rp.8,2 triliun. Padahal, kampus dituntut untuk unggul dan berkelas dunia dengan predikat World Class University (WCU). Ini tentu membutuhkan dana yang besar sehingga jika hanya mengandalkan pada dana APBN saja, dipastikan tidak akan cukup. Imbasnya, kampus mencari berbagai cara untuk mendapatkan dana, salah satunya dengan menaikkan UKT. Bahkan dengan adanya regulasi PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), PTN bisa mendapatkan otonomi dalam mengelola perguruan tinggi sendiri, seperti mengurusi keuangan, aset dan sumber daya manusia. Akan tetapi, otonomi tersebut justru memberikan kebebasan kepada kampus untuk menaikkan UKT hingga berkali-kali lipat karena subsidi pendidikan dari negara telah berkurang.
Mahalnya UKT jelas akan berdampak pada sulitnya mengakses pendidikan tinggi dan bertentangan dengan konsep pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi setiap rakyat. Jika banyak rakyat yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi, maka berpotensi menjadi jajahan bangsa lain. Mirisnya lagi, sekolah yang siswanya lulus SNBP namun tidak mengambilnya, maka sekolah tersebut bisa terkena sanksi blacklist. Pendidikan dijadikan sebagai bahan komersialisasi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Siapa pun yang memiliki uang, ia akan mendapatkan kualitas pendidikan terbaik dan sebaliknya bagi yang tidak memiliki uang, hanya untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi biasa saja, ia tak mampu apalagi untuk bisa kuliah. Ini adalah potret kapitalisasi pendidikan dalam bangunan negara kapitalisme dan liberalisme. Alhasil, negara abai dan lepas tangan atas hak pendidikan bagi warga negaranya yang seharusnya menjadi kewajiban utamanya dalam mengurusi rakyat termasuk menjamin pendidikan setiap individu rakyatnya.
Hanya dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah yang mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat yang wajib disediakan oleh negara bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan dan diberikan dengan biaya yang murah bahkan gratis. Selain itu, semua rakyat mendapatkan kesempatan yang sama baik fakir miskin maupun orang kaya, muslim maupun non-muslim, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Negara Islam wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung sekolah, laboratorium, buku-buku pelajaran, dll. Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi pekerjanya. Negara mampu menyediakan pendidikan gratis karena diambil dari Baitul Maal. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum, seperti tambang minerba dan migas. Negara dalam Islam juga masih mendapatkan pemasukan dari kharaj, jizyah, infaq, sedekah, dsb. Seluruhnya dialokasikan oleh khalifah untuk kemaslahatan umat, termasuk membiayai pendidikan.
Pada masa kejayaan Islam, telah banyak melahirkan ulama yang ahli ilmu agama dan ilmuwan yang karyanya dikagumi serta menginspirasi dunia Barat, seperti Al-Khawarizmi yang ahli di bidang sains, khususnya fisika dan penemu angka nol. Lalu, Abbas ibn Firnas yang dikenal sebagai ilmuwan serba bisa dari Andalusia yang menguasai bidang aerodinamika, kedokteran, keilmuan, bahkan juga kesenian. Beliau adalah seorang muslim yang menjadi penerbang pertama di dunia. Inilah hebatnya ketika sistem islam diterapkan dalam bingkai kehidupan. Sungguh, semua ini akan dapat dirasakan dan terwujud dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.