
Oleh: Zulfa Dyah Nurul Aini
Linimasanews.id—Belakangan ini, masih ramai perbincangan terkait kenaikan harga sejumlah bahan pokok, terutama beras. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Perdagangan RI pada 13 Mei 2024, rincian kenaikan HET dan SPHP pada beras bulog adalah semula Rp10.900/kg menjadi Rp12.500/kg. Harga tersebut berlaku untuk beberapa wilayah seperti Jawa, Bali, Lampung, Sulawesi, Sumatra Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dan berlaku mulai 1 Mei 2024.
Hal ini tentu sangat meresahkan, mengingat di Indonesia terkenal dengan istilah “belum makan kalau belum makan nasi.” Sebenarnya, masyarakat sudah membeli beras mahal sejak beberapa waktu yang lalu sehingga kenaikan HET ini tidak terlalu berpengaruh. Pernyataan tersebut diperkuat oleh analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita yang menyampaikan bahwa kenaikan HET beras sebetulnya hanya formalitas. Sebab, daya beli konsumen sudah tertekan oleh harga beras yang tinggi sejak beberapa waktu lalu. Dengan demikian, adanya penetapan relaksasi HET beras menjadi permanen tidak akan terlalu berimbas terhadap daya beli masyarakat (Bisnis.com, 24/5/2024).
Seperti yang kita ketahui, lahan pertanian di Indonesia semakin berkurang karena adanya pertumbuhan infrastruktur secara massif. Pada saat yang bersamaan, banyak terjadi PHK di mana-mana sehingga membuat angka kemiskinan makin sangat tinggi. Masalah kian diperburuk dengan mahal dan langkanya harga pupuk, yang membuat biaya produksi petani makin mahal. Kondisi ini membuat petani makin terpuruk dan tidak bisa menikmati kenaikan harga beras tersebut. Lebih menyedihkan lagi, jalur distribusi beras yang seharusnya diatur oleh negara kini dikuasai oleh penguasa yang berpikiran kapitalisme.
Solusi dari segala permasalahan tersebut tidak lain hanyalah diberlakukannya kembali sistem Islam. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Umar Khalifah bin Khattab sampai rela membawakan sendiri gandum untuk warganya yang kelaparan. Beliau sangat takut akan aduan dari seorang warganya apabila tidak bisa menjadi pemimpin yang baik.
Bertolak belakang dengan yang terjadi saat ini. Petani yang seharusnya bisa menikmati hasil keringatnya dengan layak justru tidak bisa menikmati jerih payahnya. Ibarat sudah bekerja keras, namun seperti diperas.
Tidak takutkah kita akan aduan mereka pada Sang Pencipta? Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang takut kepada sang Pencipta, sehingga setiap apa pun yang kita lakukan senantiasa disesuaikan dengan aturan dari-Nya. Wallahu a’lam bishowab.