
Oleh: Rini Rahayu (Aktivis Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)
Linimasanews.id—Air sebagai kebutuhan/hajat hidup orang banyak, seharusnya bisa diakses dengan bebas pula. Tetapi faktanya, pengelolaan dan eksploitasi air sebagai salah satu kebutuhan dasar rakyat justru diserahkan kepada pihak swasta atau pemilik modal. Kalaupun negara ikut mengelola, bersifat komersial laiknya korporasi.
Misalnya saja, untuk mendapatkan air yang layak konsumsi, rakyat harus membelinya kepada PT PAM (swasta) atau PDAM (milik negara). Perusahaan-perusahaan ini diberi kewenangan untuk mengelola dan mendistribusikan air kepada masyarakat secara berbayar. Walau di sisi lain banyak wilayah yang masih kesulitan mendapatkan air bersih, di lain pihak, perusahaan-perusahaan pengelolaan air banyak bermunculan dan menguasai sumber-sumber mata air.
Ironis sekali. Di negara yang terkenal dengan sebagian besar wilayahnya adalah air, sebagian besar rakyat kesulitan memperoleh air bersih, bahkan harus membelinya. Walaupun alasannya membantu ketersediaan air bersih untuk rakyat, namun tetap saja keuntungan terbesar sudah pasti diraup oleh pengelola, yaitu perusahaan/pengusaha/investor. Sementara, rakyat harus merogoh saku untuk bisa menikmati fasilitas yang bersumber dari air tersebut.
Upaya-upaya komersialisasi dalam pengelolaan air tidak hanya terjadi pada tingkat nasional saja, bahkan menyasar tingkat dunia. Seperti yang baru-baru ini terlaksana. Yaitu Forum Air Dunia atau World Water Forum (WWF) di Bali pada tanggal 18 – 25 Mei 2024. Acara ini digelar sebagai sarana untuk mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, seperti kepala negara dan pemerintahan, lembaga multilateral, akademisi, masyarakat sipil dan sektor swasta dari seluruh dunia. Mereka akan berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan air.
Dari perhelatan akbar ini dihasilkan penandatanganan kesepakatan pendanaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) untuk regional Karian-Serpong, Banten dan nota kesepakatan (MoU) tentang Net Zero Water Supply Infrastucture Project di Ibu Kota Nusantara (IKN) (Antaranews.com, 22/05/2024).
Memang betul, keterbatasan cadangan air yang berkualitas mengharuskan pengelolaan dan pemanfaatan air secara efektif. Namun, selama ini justru problem-problem yang menjadi sebab terbatasnya sumber air belum tersentuh. Negara malah disibukkan dengan proyek-proyek berbau kapitalisasi yang justru menambah beban masyarakat dan merusak sumber air.
Pembangunan infrastruktur yang terkesan jorjoran dan abai terhadap keseimbangan ekosistem faktanya telah membuat lahan hijau atau bukaan lahan makin berkurang dan telah beralih fungsi. Selain itu, praktik deforestasi yang abai terhadap konservasi pun berlangsung. Hal ini mengakibatkan hilangnya daya ikat tanah atas air sehingga bencana kekeringan dan banjir bergantian melanda hampir di seluruh negeri.
Selain itu, proyek-proyek eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan asing pun menjadi sumber bencana tersendiri. Karena, mengakibatkan sungai-sungai besar di daerah-daerah pertambangan banyak yang mengalami pencemaran berat sehingga tidak bisa lagi digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.
Sungguh ironis, alih-alih bertanggung jawab memperbaiki keadaan, pemerintah malah menyerahkan tanggung jawab pengelolaan air kepada korporasi dengan menawarkan proyek-proyek investasi di sektor air ini di ajang WWF. Dengan memakai baju investasi, sudah dipastikan akan berorientasi pada perolehan keuntungan, bukan pelayanan yang sejatinya menjadi tugas negara. Jadi, sebenarnya WWF atau Forum Air Dunia dan pendanaan proyek infrastruktur air ini untuk kepentingan siapa?
Islam Solusi Tepat Pengelolaan Air
Dalam Islam, air merupakan kepemilikan umum, sehingga pengelolaannya dilakukan oleh negara dan hasil keuntungan yang diperoleh akan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Maka, mengeksploitasi dan mengelola air demi meraup keuntungan korporasi adalah haram menurut ajaran Islam. Karena, bukan saja menzalimi rakyat, tetapi juga bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam Islam, air termasuk sumber daya yang haram untuk dikapitalisasi dan diberikan pada pihak swasta pengelolaannya. Kedudukan air sama dengan sumber daya alam lainnya, seperti barang tambang dan migas. Jadi, negara wajib mengelola dan memberi kemanfaatannya kepada rakyat. Seperti yang tercantum dalam HR Ibnu Majah, Nabi saw. bersabda, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.”
Oleh karena itu, sistem Islam akan mengupayakan berbagai pengelolaan sumber daya air ini agar terjaga dengan baik dan berkelanjutan. Selain itu, mendistribusikannya dengan adil sehingga tidak ada seorang pun yang kesulitan memperoleh air. Negara akan melarang monopoli dan memberikan sanksi tegas bagi yang melanggarnya.
Pengelolaan air pada masa Khilafah terkenal sangat hebat. Perairan yang berfungsi sebagai basis pertahanan, sarana transportasi, serta sumber kebutuhan yang penting bagi rakyat benar-benar diperhatikan. Berbagai infrastruktur ini dibangun dengan dana dari Baitul Mal.
Semua ini merupakan refleksi dari fungsi kepemimpinan dalam Islam yang tegak di atas asas keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan pelaksanaannya dibimbing oleh syariat. Para pemimpin Islam benar-benar memfungsikan dirinya sebagai raa’in (pengurus) sekaligus junnah (penjaga) bagi seluruh rakyat, bukan pelayan kepentingan konglomerat, apalagi pihak asing sebagaimana sekarang.
Mereka paham bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang kelak pada hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.”