
Oleh: Harnita Sari Lubis, S.Pd.I. (Aktivitas Dakwah)
Linimasanews.id—Sebanyak 22 warga negara Indonesia (WNI) yang kedapatan menggunakan visa haji palsu dalam ibadah haji 2024 dideportasi oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Ke-22 WNI tersebut dipulangkan pada Sabtu (1/6/2024) menggunakan ongkos pribadi. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Yusron Ambary mengatakan, bila proses deportasi dibiayai oleh pemerintah Saudi, akan menunggu waktu yang lama karena terganggu persediaan pesawat (Kompas.com, 31/5/2024).
Selain itu, Yusron mengatakan, dua WNI lain yang merupakan koordinator jemaah pengguna visa haji palsu akan diproses hukum oleh pemerintahan Arab Saudi. Berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh Arab Saudi, dua WNI ini kemungkinan mendapat hukuman kurungan penjara selama enam bulan, denda hingga 50.000 riyal dan deportasi juga cekal selama 10 tahun tidak boleh masuk Saudi Arabia lantaran kedapatan menggunakan visa ziarah untuk melaksanakan ibadah haji.
Visa adalah sebuah dokumen izin masuk seseorang ke suatu negara yang bisa diperoleh di kedutaan di mana negara tersebut mempunyai Konsulat Jenderal atau kedutaan asing. Visa adalah tanda bukti ‘boleh berkunjung’ yang diberikan kepada penduduk suatu negara jika memasuki wilayah negara lain yang mempersyaratkan adanya izin masuk (id.m.Wikipedia.org)
Karena itu, setiap umat muslim yang akan melaksanakan ibadah haji membutuhkan visa haji. Tanpa visa haji, jemaah haji tidak bisa masuk ke Saudi Arabia.
Jenis-jenis visa haji, yaitu: Pertama, Visa Haji Reguler merupakan visa resmi untuk naik haji yang masa terbitnya lebih cepat, masa tunggu keberangkatannya sesuai dengan nomor porsi dari Kementerian Agama. Jenis visa haji ini bisa didapatkan dengan cara mendaftar dan mengajukan visa lewat Kementerian Agama, nantinya akan dilanjutkan ke Kedutaan Besar Arab Saudi.
Kedua, Visa Haji ONH Plus. Bisa ini bisa didapatkan melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dari Pemerintah Indonesia. Visa Haji ONH Plus berstatus resmi dan mempunyai masa tunggu antara 5 – 7 tahun. Berbeda dengan visa haji reguler, untuk mendapatkan visa ini, jemaah harus melakukan pendaftaran ke agen travel PIHK kemudian ke Kementerian Agama, setelah itu baru ke Kedutaan Besar Arab Saudi.
Ketiga, Visa Haji Furoda (Mujamalah), yaitu visa undangan dari pemerintah Saudi Arabia tanpa kerja sama dengan Pemerintah RI. Meski demikian, jenis visa ini berstatus resmi. Sayangnya, masa terbit paling lambat untuk visa ini bisa mencapai 7 hingga 10 hari sebelum wukuf Haji. Namun, tidak ada masa tunggu keberangkatan seperti dua jenis visa lainnya. Visa haji Furoda didapatkan dengan cara mendaftar di agen travel PIHK lalu akan langsung dilanjutkan ke Kedutaan Besar Arab Saudi. Salah satu kelebihan Furoda visa haji adalah proses pengurusannya dilakukan secara online selama 24 jam (GIL, m.kumparan.com).
Intinya, ketika pergi berhaji, jemaah harus mempunyai visa agar bisa masuk ke negara Arab Saudi. Kebijakan visa ini berlaku semenjak negara-negara disekat oleh nasionalisme (nation state), setelah Kekhilafahan Ustmaniyah runtuh tahun 1924. Sejak itulah daulah Islam yang sebelumnya satu wilayah, disekat-sekat sekat kecil menjadi negara Turki, Mesir, Arab, dan sebagainya. Akibatnya, ketika ingin berkunjung ke suatu negara, walaupun dekat harus menggunakan paspor dan visa. Tanpa dokumen tersebut maka dipastikan tidak dapat masuk ke negara tujuan.
Realitasnya, pengurusan dokumen ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga ketika seseorang tidak mempunyai uang yang cukup maka tidak akan bisa pergi keluar negeri. Sistem pelayanan ala kapitalis sekarang ini menyulitkan rakyat keseluruhannya. Kebijakan-kebijakannya menyulitkan rakyat. Padahal, Arab Saudi negeri muslim, sebelumnya satu wilayah Khilafah Islam, sehingga Makkah adalah kota suci umat Islam. Seharusnya umat Islam satu, tidak terpecah seperti sekarang ini.
Sejarah pelayanan bagi jemaah haji yang tak terlupakan adalah kereta api Hijaz, sebuah pencapaian besar di masa Kekhilafahan Utsmaniyah. Jalur kereta api ketika itu dari Istanbul, turun di Sana’a, di Yaman, melewati Damaskus, Yerusalem, dan Madinah. Kereta ini memiliki gerbong terpisah yang terbuat dari kaca untuk salat dan kompartemen khusus wanita.
Di samping itu, sebuah masjid hadir di setiap stasiun besar dan dengan waktu kereta yang selaras, selaras dengan waktu salat. Pergi dari Damaskus ke Madinah untuk menunaikan haji dalam waktu yang dipersingkat menjadi 2 hari, bukan 40 hari, dengan nyaman dan mudah, jauh dari bahaya perampokan. Selain itu, memiliki rumah sakit dan pusat karantina di lokasi strategis di sepanjang jalan, siap untuk mencegah wabah penyakit apa pun dan membantu merawat orang yang jatuh sakit selama perjalanan. Ditambah lagi, bisa untuk bepergian secara gratis bagi yang tidak dapat menanggung biayanya (ada kuota orang yang diizinkan bepergian secara gratis).
Meskipun kedengarannya seperti mimpi, visi pragmatis ini benar-benar diimplementasikan di masa-masa Kekhilafahan, di antaranya oleh Sultan Abdul Hamid II yang visioner dan karismatik. Proyek tersebut tidak dilakukan untuk keuntungan finansial. Sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk mencegah penyakit nasionalisme merajalela di antara penduduk dengan menggunakan Islam sebagai kekuatan pengikat.
Sultan Hamid II menyatukan bagian-bagian kekhilafahan yang agak longgar selama sepertiga abad dengan rencana pembuatan jalur kereta api ini. Ia berkata, “Yang penting bagi kami adalah dapat segera membangun rel kereta api antara Damaskus dan Mekkah; sehingga memungkinkan pengerahan tentara yang cepat pada saat terjadi kekacauan. Tujuan penting kedua adalah untuk memperkuat ikatan di antara umat Islam sedemikian rupa sehingga akan menghancurkan kejahatan dan penipuan Inggris,” [Özyüksel, M. (2014). The Hejaz Railway and the Ottoman Empire: Modernity, Industrialisation and Ottoman Decline].
Dalam banyak hal, jalur kereta api Hijaz merupakan upaya kolektif muslim global. Muslim di seluruh dunia menyadari pentingnya jalur kereta api ini dan berdonasi dengan murah hati. Ada kampanye di Lahore dan Mumbai untuk pengumpulan sumbangan, dipimpin oleh Inshaullah, editor Al Watan (sebuah surat kabar yang berbasis di Lahore). Dia menggunakan korannya untuk menyebarkan panggilan, yang mengarah ke lebih dari 150 komite donasi yang beroperasi di India dengan kantor pusat mereka yang berbasis di Hyderabad. Mereka yang menyumbang di atas jumlah tertentu juga dianugerahi medali dan pengakuan.
Kereta api Hijaz adalah kereta api pertama dan mungkin satu-satunya yang tidak dibuat hanya untuk memberi manfaat bagi warga biasa, tetapi lebih dari itu, untuk memberi mereka kelegaan dan keamanan, juga kemudahan dalam berhaji dan berniaga di wilayah-wilayah Daulah Islam. Mudah-mudahan kita akan merasakan kebangkitan kekhilafahan yang akan menyatukan umat Islam seluruh dunia sehingga tidak ada lagi pengurusan paspor dan visa yang menyulitkan ketika berhaji.