
Oleh: Atiqoh Shamila
Linimasanews.id—Fenomena perubahan peraturan menjelang pesta demokrasi kerap terjadi, nyaris menjadi agenda rutin setiap akan dilangsungkannya pilkada, bahkan pilpres. Seperti yang terjadi akhir April lalu, tepatnya 23 April 2024, Partai Garuda mempermasalahkan Pasal 4 Ayat 1 Huruf d dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020. Batas umur calon kepala daerah yang bisa berlaga di Pilkada 2024 mendatang diatur dalam pasal tersebut, yaitu minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakilnya serta 25 tahun untuk cabup dan cawabup dan cawalkot dan calon wakil wali kota (Tirto.id, 02/06/2024).
Gayung bersambut, gugatan Partai Garuda dikabulkan oleh Mahkamah Agung hanya dalam jangka waktu 3 hari. Perkara dengan nomor 23 P/HUM/2024 tersebut diterima MA pada 27 Mei 2024. Selang beberapa hari, tepatnya pada 29 Mei 2024 MA mengeluarkannya. Dalam putusan tersebut tersirat makna, untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur tidak harus berusia 30 tahun pada saat mendaftar, asal pada saat dilantik usianya genap 30 tahun (Kumparan News, 30/05/2024).
Sebelumnya pasal 4 ayat (1) huruf d berbunyi: “… berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”
Setelah diubah oleh MA menjadi, “… berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.”
Terjadi Perubahan pada frasa “terhitung sejak penetapan” menjadi “terhitung sejak pelantikan” . Ini berarti, calon kepala daerah setingkat provinsi yang belum genap berusia 30 tahun atau tingkat kabupaten/kota yang belum genap 25 tahun bisa mendaftar untuk berlaga dalam kontestasi kepala daerah, asal pada saat pelantikan usianya sudah genap 30 tahun untuk level gubenur dan 25 tahun untuk level kabupaten/kota.
Penyalahgunaan Kekuasaan Niscaya dalam Sistem Demokrasi
Perubahan aturan sesuai keinginan sekelompok orang adalah hal yang wajar terjadi dalam sistem demokrasi. Sebab, sistem ini meletakkan kedaulatan ditangan rakyat, dengan mengabaikan aturan Sang Pencipta. Sistem yang cacat sejak lahir ini tidak akan mampu membuat aturan yang adil bagi semua insan karena pembuatnya tidak lepas dari sifat lemah dan serba terbatas. Buktinya, putusan MA terkait perubahan batas umur calon dan wakil calon gubernur menjelang pilkada ini.
Putusan baru tersebut sarat kepentingan politik. Diduga putusan ini untuk melanggengkan pihak tertentu yang ingin maju pilkada tetapi terkendala umur. Proses putusan yang kilat (hanya berlangsung 3 hari) seolah mengejar waktu pendaftaran calon kepala daerah yang tinggal menghitung bulan.
Alhasil, putusan MA ini memicu polemik, menuai pro dan kontra. Wajar, karena ada pihak yang diuntungkan dan ada yang merasa dizalimi. Begitulah karakter demokrasi, rawan penyalahgunaan kekuasaan karena tidak ada aturan yang baku. Aturan bisa berubah-ubah sesuai kepentingan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Sampai kapan pun, demokrasi tidak akan mampu mewujudkan keadilan bagi semua insan. Kedaulatan di tangan rakyat hanyalah utopis dan angan-angan kosong. Dalam sistem ini kekuasaan menjadi alat legitimasi yang mengalahkan supremasi hukum.
Kekuasaan dalam Pandangan Islam
Islam memandang kekuasaan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Karena itu, kekuasaan dalam Islam bertujuan untuk riayah syu’unil ummah (mengurusi urusan rakyat) dengan berlandaskan akidah Islam. Penguasa dalam sistem Islam adalah pelayan umat, mengurusi seluruh urusan umat dan berupaya mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin. Ini sangat kontras dengan penguasa dalam sistem sekarang yang berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan menjadikan anak keturunannya menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, bahkan menggantikan posisinya sebagai kepala negara.
Penguasa dalam sistem Islam mempunyai benteng akidah yang kuat. Ia sangat hati-hati bertindak karena menafakuri sabda Nabi saw., “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari)
Dengan berpedoman pada hadits di atas, penguasa dalam Islam tidak akan berani mengubah-ubah aturan untuk kepentingan keluarga dan kroninya. Karenanya, penyalahgunaan kekuasaan tidak akan pernah terjadi dalam sistem Islam. Mereka lebih takut azab Allah daripada iming-iming dunia yang hanya berupa kenikmatan sementara.
Di samping itu, Islam memiliki mekanisme pemilihan kepala daerah, yaitu khalifah (kepala negara) menunjuk orang yang siap menerima amanah sebagai kepala daerah (wali/amil). Tentu syarat dan ketentuan berlaku, di antaranya adalah laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu (memikul amanah kepemimpinan). Syarat-syarat ini akan menyingkirkan orang-orang yang tidak layak untuk memimpin, termasuk dari sisi keadilan maupun kecakapan.
Individu yang track record-nya tidak bagus, tidak pantas jadi penguasa dalam sistem Islam. Apalagi orang yang berperilaku korup, zalim, semena-mena, dan enggan menerapkan syariat Islam. Tidak ada tempat bagi mereka untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Seleksi super ketat dengan tujuh syarat di atas menjadi satu-satunya jalan untuk menempati posisi dalam pemerintahan Islam.
Adapun jabatan gubernur (wali) atau bupati/wali kota (amil), ditunjuk langsung oleh khalifah. Khalifah berhak menunjuk langsung orang yang dianggap layak sebagai wakilnya di daerah berdasarkan tujuh syarat di atas. Jika dalam perjalanan masa jabatan seorang gubernur atau bupati/walikota menyalahi amanah yang dibebankan kepadanya, khalifah berhak memberhentikannya saat itu juga, tanpa harus menunggu masa jabatan usai.
Rakyat pun berhak mengoreksi dan mengawasi penguasa jika ada ketimpangan dan ketidakadilan dalam mengurusi urusan rakyat. Mekanismenya, rakyat mengadukan penguasa yang bersangkutan kepada khalifah atau Mahkamah Mazalim. Keduanya akan mengadili dan meminta pertanggungjawaban penguasa tersebut.
Setiap perkara diputuskan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Karena itu, keadilan hukum akan benar-benar ditegakkan sehingga supremasi hukum dijunjung tinggi. Islam pun akan dirasakan oleh seluruh umat manusia sebagai rahmatan lil alamin.