
Oleh: Ummu Nazwa
Linimasanews.id—Pemerintah baru saja mengeluarkan PP No.21 Tahun 2024 yang memutuskan akan melaksanakan pungutan atas pendapatan masyarakat dengan nama Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berlaku untuk seluruh pekerja di BUMN, Badan usaha milik desa (BUMDes), dan perusahaan swasta.
Reaksi penolakan pun muncul. Bukan hanya dari pekerja dan buruh, tetapi juga dari para pengusaha. Pasalnya, pungutan untuk Tapera ini sebesar 3%, dengan 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5 % dibayar oleh pengusaha. Hal ini nantinya akan berdampak pada kenaikan hasil produksi ataupun jasa disebabkan pengusaha yang tidak mau rugi.
Pemerintah beralasan Tapera ini adalah solusi penyelesaian perumahan bagi masyarakat yang belum memiliki hunian. Namun kenyataannya, yang sudah memiliki hunian pun akan sama saja mendapat potongan. Maka, makin terasa beban yang ditanggung oleh masyarakat. Sebab, selain pungutan Tapera, para pekerja dihadapkan dengan berbagai pungutan lainnya. Seperti, Pajak Penghasilan (PPH), BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik akan kembali naik. Apabila dikalkulasikan, jumlahnya tidak sedikit. Bukankah ini menambah derita rakyat?
Sesungguhnya, pengambilan harta secara paksa atas harta orang lain adalah batil dan dilarang oleh agama Islam. Pelakunya bisa individu, bisa juga para penguasa yang mengambil harta rakyat dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat Islam, seperti pungutan atas penghasilan, kendaraan, tanah, rumah, barang belanjaan, dan sebagainya. Inilah yang dimaksud Allah Swt. dengan “memakan harta sesama kalian dengan cara batil”.
Di dalam Islam, hunian adalah salah satu kebutuhan primer yang wajib disediakan oleh setiap kepala rumah tangga sebagai tempat tinggal untuk keluarga mereka. Islam juga menetapkan bahwa setiap orang berhak memiliki rumah yang layak. Maka, syariah Islam menetapkan bahwa seseorang bisa memiliki rumah dengan cara membangun rumah sendiri atau dengan bantuan pihak lain melalui jual-beli, pemberian, atau warisan.
Ketika rakyat tidak mampu memiliki hunian dengan cara sendiri, maka negara wajib membantu rakyatnya agar mudah memiliki atau mendapatkan rumah dengan mekanisme: Pertama, negara harus menciptakan ekonomi yang sehat, sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah, baik rumah pribadi maupun rumah sewaan.
Kedua, negara wajib melarang praktik ribawi dalam jual-beli kredit perumahan. Sebab, riba dengan tujuan apa pun adalah dosa besar. Sedangkan kini, sebagian besar rakyat banyak yang terlilit utang cicilan rumah yang mengandung riba.
Ketiga, negara harus menghilangkan penguasaan lahan yang luas oleh segelintir orang/korporasi, yang mengakibatkan rakyat tidak bisa membeli tanah atau properti, kecuali melalui para pengembang tersebut dengan harga yang sangat mahal. Syariah Islam mengatur bahwa lahan yang selama tiga tahun ditelantarkan oleh pemiliknya, akan disita oleh negara dan diberikan kepada orang yang sanggup untuk mengelolanya.
Keempat, negara memberikan lahan kepada rakyat yang mampu mengelola lahan tersebut.
Begitulah solusi Islam atas problem perumahan bagi rakyat. Hanya syariah Islam-lah yang memiliki solusi konkret untuk permasalahan ini. Sungguh, dengan ideologi Islam rakyat akan terhindar dari kezaliman para penguasa dalam bentuk apa pun.