
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
Linimasanews.id—Kembali berbeda. Iduladha 2024 di Indonesia kembali berbeda dengan Kerajaan Arab Saudi. Perbedaan tersebut karena Mahkamah Agung Arab Saudi menetapkan bahwa Jumat (7/6/24) sudah menjadi hari pertama Zulhijjah 1445 H berdasarkan rukyatul hilal. Yang artinya, hari Arafah jatuh pada hari Sabtu (15/6), dan hari raya Iduladha yang bertepatan dengan 10 Zulhijah akan jatuh pada Minggu (16/6/2024). Selisih satu hari dengan pemerintah Indonesia yang baru akan berhari raya pada Senin (17/6).
Perbedaan ini tentu menjadi sebuah tanya, bahkan berpotensi menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Terlebih jika dikaitkan dengan selisih waktu dua negara. Di mana waktu Indonesia lebih awal empat jam dibandingkan Arab. Lalu bagaimana bisa Arab Saudi yang memiliki waktu lebih lambat melaksanakan Iduladha lebih awal daripada Indonesia? Bagaimana bisa Indonesia menyelisihi waktu pelaksanaan wukuf di Arafah dengan menetapkan sendiri 9 Zulhijah sebagai hari Arafah pada hari Minggu, sementara negara di mana Arafah itu berada justru menetapkan di hari Sabtu?
Ya, perbedaan memang tidak bisa dilepaskan dari Indonesia. Karena Indonesia sendiri adalah negara dengan penduduk yang heterogen, baik dari segi agama maupun suku. Perbedaan yang menunjukkan kekayaan, sekaligus menuntut adanya sikap toleran yang cukup tinggi. Sayangnya, perbedaan tersebut dimaklumkan dalam perkara yang harusnya tidak boleh berbeda seperti pelaksanaan Iduladha. Perbedaan ini bukan kali pertama dan mungkin berpotensi terulang kembali di masa mendatang bila tak kunjung diatasi.
Perkara penetapan hari raya Iduladha, sejatinya Amir Makkah adalah satu-satunya pihak yang diberi wewenang untuk menetapkan. Hal ini karena Iduladha erat kaitannya dengan ibadah haji, sementara haji dilaksanakan di negeri tersebut. Maka harusnya, wilayah lain tunduk pada ketetapan tersebut.
Namun, faktor fanatisme/nasionalisme yang demikian dominan, menyebabkan perbedaan ini terjadi. Kaum muslim terbelenggu dalam batas wilayah dalam melaksanakan ritual agama. Akibatnya, wilayah yang secara astronomis sama, bisa jadi berbeda melaksanakan Iduladha.
Faktor lainnya, kaum muslim tidak memiliki seorang pemimpin yang bisa menyatukan suara umat. Banyaknya kelompok/organisasi Islam, menjadikan mereka terpecah dan beraktivitas sesuai arahan pemimpin organisasi. Lebih lanjut, kaum muslim juga tidak memiliki satu wadah bernama negara berbasis Islam. Di mana keberadaan negara tersebut akan mengikat masyarakat pada satu pemikiran, perasaan, dan aturan. Tujuannya, untuk menghilangkan terjadinya khilafiyah pada perkara yang tidak diperbolehkan berbeda di tengah masyarakat.
Sebagai agama yang sempurna, sejatinya Islam memiliki rules terkait khilafiyah/perbedaan. Pertama, Islam memberi toleransi adanya perbedaan pada perkara tertentu saja dengan catatan tetap berpatokan pada dalil syarak. Seperti dibaca tidaknya qunut, jumlah rakaat salat tarawih, dll. Kedua, pemimpin kaum muslim memiliki wewenang untuk mengadopsi hukum untuk mengantisipasi timbulnya perpecahan sekaligus menjaga kesatuan umat. Seperti penentuan waktu ibadah haji, penentuan awal Ramadan, dan penentuan Idulfitri dan Iduladha.
Sehingga sekalipun penentuan hari raya merupakan masalah khilafiyah, namun seorang pemimpin kaum muslim harus mengadopsi satu pendapat/hukum untuk diberlakukan dalam satu negara dan rakyat tidak boleh menyelisihinya. Pendapat yang dipilih harus didasarkan kekuatan dalil dari jumhur ulama yang mewajibkan penggunaan rukyatul hilal (bukan hisab).
Dalam hal ini, berdasarkan rukyatulhilal penguasa Hijaz sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud, “Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah) berkhutbah dan menyatakan, ‘Rasulullah saw. memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan rukyat. Apabila kita tidak melihat (rukyat)nya, sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal), maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.”
Inilah salah satu urgensi keberadaan Daulah Khilafah. Khalifah bisa menjadi benteng umat dari ancaman perpecahan, menjadi garda terdepan dalam mewujudkan persatuan yang saat ini benar-benar dibutuhkan oleh umat. Karenanya, segala daya upaya dan kesungguhan harus dikerahkan untuk menghadirkan mahkota kewajiban ini di tengah tengah kaum muslim.