
Oleh: Nur Octafian NL. S.Tr. Gz.
Linimasanews.id—DPR RI telah melakukan pengesahan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi undang-undang. Beberapa pengaturan dalam UU KIA yang berhubungan dengan ketenagakerjaan adalah cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja dimana ia berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Kemudian UU KIA juga mengatur hak cuti bagi suami yang istrinya bersalin, yaitu selama 2 hingga 3 hari berikutnya sesuai dengan kesepakatan. Bentuk perlindungan lainnya adalah hak waktu istirahat bagi yang mengalami keguguran yaitu satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau kebidanan.
Selain itu, UU KIA menjamin kenyamanan dan gizi bagi pekerja yang menyusui..Maka sehubungan dengan ini, Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri menyebutkan, UU KIA diyakini akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh (Detik.com, 6/6/2024).
Pengesahan RUU KIA ini banyak mendapat respon positif dari berbagai kalangan salah satunya dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sebagaimana di kutib dari laman (Liputan6.com, 9/6/2024). Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS Tuti Elfita, mengatakan “Kesejahteraan ibu dan anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga, dan keterlibatan ayah dalam memberikan perlindungan serta pendampingan adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan yang optimal.”
Maka pengesahan RUU KIA ini dianggap akan membawa angin segar bagi perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja sehingga menguatkan pemberdayaan ekonomi perempuan. Sebagaimana paradigma kapitalisme bahwa perempuan yang produktif dan berdaya tak lepas dari standar materi yaitu dia yang bekerja, berdaya saing dan mampu menghasilkan uang. Paradigma inilah yang telah meracuni kaum perempuan saat ini untuk berlomba-lomba mencari materi sehingga menjauhkannya dari fitrahnya sebagai “al-umm warobbatul bayt” (ibu dan pengurus rumah tangga).
Paradigma kehidupan dalam sistem sekularisme-kapitalisme saat ini telah banyak mereduksi nilai-nilai Islam yang memandang perempuan sangat mulia. Di mana ia memiliki peran sentral terhadap kemajuan suatu bangsa lewat asuhan dan didikan tangannya terhadap generasi.
Tentu ini tidak akan sejalan dengan regulasi yang dibuat. Di mana ibu yang bekerja akan mendapatkan cuti bulanan saja, sebab tidak akan cukup untuk mendampingi anak, mengingat masa pendampingan dan pengasuhan terbaik dari seorang ibu adalah hingga anaknya memasuki usia mumayyiz. Maka UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) sebenarnya adalah solusi tambal sulam yang tidak tepat sasaran.
Berbeda halnya dengan Islam yang menempatkan perempuan di tempat yang mulia, bukan sebagai alat untuk meningkatkan perekonomian, sebagaimana digaungkan sistem rusak ini. Islam menilai kesejahteraan perempuan tidak dengan standar materi, Islam memandang perempuan sebagai makhluk terhormat dan mulia yang tidak boleh didiskriminasi hak-haknya.
Fitrah kelembutan dan kasih sayang dikaruniakan Allah padanya. Ia memegang peran sentral dalam membangun peradaban sebuah negara yaitu sebagai “al-umm warobbatul bayt” (ibu dan pengurus rumah tangga) yang memiliki amanah besar untuk mencetak generasi berkualitas dan tangguh.
Dalam Islam, untuk menyejahterakan perempuan adalah dengan mendidiknya agar paham tentang keutamaan tugas mereka, memahami tugasnya sebagai pemegang kendali peradaban. Sebab, apabila perempuan mampu menjalankan peran utamanya dengan baik, maka akan terlahir generasi mulia yang tangguh. Kendati demikian, Islam juga tidak melarang bagi perempuan yang memilih ingin bekerja dengan motivasi untuk memanfaatkan ilmunya bagi kemaslahatan Islam dan kaum muslim.
Namun, negara akan membuat regulasi jam kerja agar tidak melalaikan peran utamanya sebagai “al-umm warobbatul bayt.” Sedangkan tugas mencari nafkah dibebankan pada laki-laki, bukan untuk membanding-bandingkan kemampuan antara laki-laki dan perempuan tetapi sebagai bentuk qawwam.
Sebagaimana perempuan, laki-laki pun diberi fitrah oleh Allah yaitu tanggung jawab. Jika mereka mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maka perempuan atau istrinya tidak akan terbebani untuk mencari uang. Mereka akan bisa fokus dengan tanggung jawabnya sebagai pencetak generasi mulia dan tangguh.
Tugas ini tentu tak bisa lepas dari tanggung jawab negara yang berperan penting dalam memberikan hak-hak masyarakat khususnya pendidikan bagi perempuan, bukan sebagai investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi sebagai investasi untuk membangun peradaban yang mulia.
Di samping itu, negara juga harus menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan bagi setiap rakyatnya. Dengan menyediakan lapangan pekerjaan untuk setiap laki-laki atau para suami, pekerjaan itu tersedia dalam sektor pengelolaan sumber daya alam, muamalah, pertanian, industri, dan masih banyak sektor lainnya.
Jelas hanya Islamlah yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak. Islam menyejahterakan perempuan dengan semua peran fitrahnya, bukan dari berapa banyak uang yang dihasilkan. Wallahu a’lam bishowab.