
Oleh: Ipayanti
Linimasanews.id—Sejak awal tahun 2024 gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal masih terus terjadi. Terbaru, kali ini menerjang industri manufaktur, utamanya sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, makanan dan minuman. Ribuan pekerja telah kehilangan pekerjaan di tengah situasi ekonomi yang sulit.
Di Industri tekstil di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebanyak 13.800 pekerja terkena PHK. Misalnya PT Sepatu Bata Tbk di Purwakarta melakukan PHK terhadap 200 pekerja karena pabriknya gulung tikar. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Mirah Sumirat menyebutkan, total ada 5000 pekerja di berbagai sektor industri yang menjadi korban PHK sejak awal tahun 2024 (www.kontan.co.id, 15-06-2024).
Selain itu perusahaan di bawah pengelolaan ByteDance, yakni penggabungan Tokopedia dan Tiktok Shop juga melakukan PHK terhadap 450 karyawan dari 5000 total karyawan ByteDance Indonesia (Cnbcindonesia, 15-06-2024).
Badai PHK ini menunjukkan kondisi ekonomi dunia yang sulit. Korban PHK akan menambah daftar pengangguran di negeri ini. Alasan banyak perusahan gulung tikar dikarenakan permintaan pasar akan barang produksi tersebut berkurang. Selain itu, akibat banyaknya produk impor yang harganya lebih murah daripada produk tekstil dalam negeri.
Hal itu terjadi karena pemerintah telah mempermudah kebijakan impor, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024. Kebijakan itu membuat negeri ini legal dibanjiri produk-produk impor, sehingga masyarakat akan memilih produk barang impor yang lebih murah.
Badai PHK merupakan indikasi perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan yang konon bisa stabil berada dalam level 5%, ternyata kinerja industri dan penyerapan tenaga kerja sedang dalam kondisi tidak baik. Dengan kata lain, bisa disebut pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas.
Semua itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang seolah tidak mendukung industri dalam negeri. Lapangan kerja yang dijanjikan akan dibuka seluas-luasnya ternyata hanya pepesan kosong. Undang-Undang Cipta Kerja yang diwacanakan akan bisa menciptakan lapangan kerja ternyata juga nol dalam realisasi.
Beginilah kapitalisme. Negara yang harusnya mengurus dan melayani rakyatnya, namun karena kebobrokan kapitalisme yang berlandaskan pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme), peran negara hanya menjadi regulator dan fasilitator. Negara hanya mengesahkan regulasi, sementara isi dan kebijakan-kebijakan yang disahkan itu tidak terlalu dipedulikan akan merugikan rakyat ataukah tidak. Penguasa hanya mengawasi tanpa punya peran aktif. Posisi penguasa yang demikian hanya menguntungkan para pengusaha kapitalis (investor).
Kondisi ini beda dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara berfungsi sebagai pengurus rakyat dan melayani (penanggung jawab) rakyat. Karenanya, negara akan memberikan jaminan pekerjaan bagi warganya, menyediakan fasilitas kesehatan gratis, pendidikan murah bahkan gratis, tanpa pajak. Keamanan pun terjaga.
Dengan begitu, rakyat akan mudah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Warga tidak perlu susah kerja keras siang malam hanya demi memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebab, pelayanan umum sudah dijamin oleh negara. Bukankah pengeluaran terbanyak bagi rumah tangga adalah untuk biaya kesehatan, pajak, pendidikan, dan transportasi?
Sistem Islam juga akan melakukan industrialisasi yang akan membuka lapangan kerja dalam skala besar. Pertanian, peternakan, dan perdagangan akan dimajukan sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja.