
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
Linimasanews.id—Viral beberapa waktu lalu, video sejumlah remaja SMP mengolok-olok penderitaan rakyat Palestina, terutama Gaza yang hingga kini masih terus menderita akibat serangan bom zionis Israel. Remaja perempuan berjumlah 5 orang tersebut tampak dalam video yang beredar di sosial media tengah asyik menyantap makanan dari salah satu gerai cepat saji yang banyak diboikot masyarakat, utamanya kaum muslim, karena dukungannya terhadap Zionis Yahudi (liputan6.com, 11/6/2024).
Dalam video tersebut, sambil menikmati sajian ayam goreng yang terhidang di depan mereka, remaja-remaja tersebut melontarkan kalimat-kalimat sindiran tentang genosida yang terjadi di Palestina saat ini. “Makan tulang anak-anak Palestina,” celetuk salah seorang remaja putri dalam video viral tersebut.
“Darah anak Palestina,” ujar remaja lain yang disambut gelak tawa teman-temannya.
“Daging anak Palestina,” kata yang lain lagi.
“Ini bukan saus, darah anak Palestina,” timpal remaja lainnya lagi.
Viralnya video olok-olok terhadap korban genosida di Palestina ini menjadi tamparan keras bagi para orangtua untuk kembali introspeksi diri, kembali bermuhasabah diri tentang bagaimana pola asuh yang telah diupayakan kepada anak-anak selama ini.
Tak hanya bagi para orangtua, tetapi adanya video tersebut juga menjadi tamparan keras untuk para pendidik dan juga pemerintah. Bagaimana bisa sekumpulan remaja SMP sampai membuat video olok-olok untuk korban genosida yang sampai hari ini belum berakhir? Sudahkah para orang tua, pendidik, dan juga pemerintah memberikan edukasi yang terbaik bahwa kita menolak dan menentang keras penjajahan di atas muka bumi, sesuai dengan UUD 1945?
Adanya video tersebut, nyatanya menjadi bukti bahwa banyak orang tua dan pendidik belum maksimal dalam mendidik anak-anak kita. Apalagi peran negara yang hampir tak kelihatan dalam membela Palestina. Edukasi-edukasi berkenaan tentang Palestina yang terjajah sangat kurang, bahkan hampir tidak ada.
Fenomena ini menambah bukti gagalnya sistem sekularisme di dalam dunia pendidikan. Karena seperti yang kita ketahui, pendidikan dalam sistem sekulerisme hanya menghasilkan angka-angka, hanya menghasilkan nilai-nilai akademik yang tidak ada hubungannya dengan akhlak, dan hanya menghasilkan output berupa materi yang mana dikatakan berhasil sekolahnya jika berhasil mendapatkan ranking satu atau juara kelas dan setelah lulus mendapatkan pekerjaan bagus di perusahaan besar.
Sementara bagaimana akidah peserta didik, akhlak, empati, kedisiplinan, atau hal-hal lain yang sifatnya nonmateri sama sekali tidak didapatkan dari bangku sekolah. Seperti itu pulalah yang terjadi pada keempat anak remaja yang mengolok-olok korban genosida di Palestina. Mereka adalah korban dari buruknya sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem sekularisme, hingga tampak outputnya dari pendidikan tersebut yakni melahirkan anak-anak yang minim empati, seenaknya sendiri, tidak menghargai orang yang lebih tua, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, adanya fenomena kasus anak-anak remaja SMP yang mengolok-olok korban genosida di Palestina, membuat kita bertanya-tanya, siapakah yang pantas disalahkan dari adanya kasus tersebut? Meski anak-anak itu sudah mulai beranjak dewasa dan sudah masuk dalam kategori aqil baligh, tetap saja adanya kasus ini tidak serta merta menyalahkan mereka 100%. Seperti yang diutarakan di atas, mereka justru adalah korban dari buruknya sistem sekulerisme di dunia pendidikan Indonesia.
Selain diri mereka pribadi yang dianggap bersalah, orang tua juga turut andil dalam kesalahan yang mereka perbuat. Apa yang remaja SMP itu lakukan merupakan bentuk cerminan dari apa yang terjadi di dalam rumah. Bisa dikatakan bahwa hampir-hampir di dalam rumah mereka yang mengejek anak-anak Palestina itu tidak ada edukasi yang benar mengenai apa yang terjadi di Gaza.
Selain orang tua, pihak sekolah juga patut disalahkan karena tidak memberikan edukasi mengenai hal ini, sampai-sampai terjadi pada peserta didik mereka ada yang melakukan perbuatan tidak terpuji dengan mengolok-olok korban genosida.
Selanjutnya, yang paling patut disalahkan dan memiliki porsi yang besar dalam persentase kesalahan adalah negara. Negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekularisme di dalam segala lini, termasuk di bidang pendidikan, akhirnya melahirkan generasi-generasi yang rusak moralnya. Menjadi pribadi yang individualis dan buruk, juga rusak akidahnya.
Hal ini tentu saja berbeda jika sistem Islam yang diterapkan. Islam yang memiliki sistem dan solusi hidup yang komprehensif itu jelas. Jangankan untuk mengatasi keberadaan anak-anak remaja yang bertindak amoral itu, sistem islam bahkan mampu mencegah adanya anak-anak yang bertindak bahkan berpikir melakukan hal demikian.
Dari sisi orang tua, negara sudah memberikan edukasi dan segenap peraturan bagi orangtua untuk bisa menjalani kehidupan rumah tangganya, termasuk di dalamnya mendidik anak. Para ayah diberikan pekerjaan dan para ibu diwajibkan di rumah untuk mendidik anak, menjadikan ibu fokus atas pendidikan anak di rumah.
Selain itu, dari sisi sekolah juga sama. Para peserta didik diutamakan untuk diperkuat akidahnya, diluruskan akhlaknya, kemudian baru peserta didik diarahkan sesuai dengan bakat dan minatnya. Akidah dan akhlak inilah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Karena ditanamkan sejak dini rasa takut kepada Allah, anak akan terus berusaha berhati-hati dalam bertingkah laku.
Semua itu akan berjalan sesuatu dengan rulesnya jika negara yang menerapkan Islam. Negara yang menerapkan Islam sebagai satu-satunya sistem untuk menjalankan roda pemerintahan di segala lini, termasuk mengatur urusan rumah tangga rakyatnya. Dengan demikian, hal-hal semacam pelecehan dan pengolok-olokan kepada korban genosida oleh anak-anak remaja atau kasus-kasus lain yang serupa tidak akan pernah terjadi.