
Oleh: Nabila Sinatrya
Linimasanews.id—Miris, kondisi generasi makin hari makin parah kebobrokannya. Sikap santun dan patuh kepada orang tua sudah menjadi kewajiban anak, namun banyak kasus menunjukkan sebaliknya.
Sebagaimana dilansir liputan6.com (23/06/2024), viral di media sosial seorang pedagang ditemukan tewas di sebuah toko perabot kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur yang pelakunya dua anak kandungnya sendiri. Motifnya karena sakit hati telah dimarahi oleh ayah kandungnya.
Kasus serupa terjadi di Pesisir Barat, Lampung. Seorang anak membunuh ayahnya sendiri karena kesal diminta untuk mengantarkan ke kamar mandi, padahal sang ayah menderita stroke (enamplus.liputan6.com, 21/06/2024).
Tentu ini bukan kasus yang pertama kalinya. Moral bejat generasi ini buah dari diadopsinya sistem sekuler kapitalisme. Cara pandang dalam sistem ini malah menjauhkan nilai agama dari kehidupan. Standar penilaian benar salah pun mengacu kepada materi. Tak terkecuali, dalam sistem pendidikannya, hanya mengejar capaian angka, tidak lagi memperhatikan pendidikan karakter, termasuk abai pada keharusan birrul walidain (berbakti kepada orang tua).
Alhasil, sekularisme melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, rapuh, dan kosong jiwanya. Sistem ini berhasil merusak dan merobohkan pandangan mengenai keluarga. Terbukti bahwa sekularisme-kapitalisme gagal dalam memanusiakan manusia, sudah tak lagi mengenal tujuan manusia diciptakan sebagai hamba-Nya.
Sistem ini sampai membuat anak tak lagi bisa membedakan halal haram, hanya memikirkan kesenangan materi sebanyak-banyaknya. Orang tua dianggap menjadi objek yang bisa dimanfaatkan, jika orang tuanya membawa manfaat materi akan disayang anak. Sebaliknya, jika orang tua dianggap sebagai beban materi maka tidak menjadi perhatian. Misalnya, kasus kasus yang disebutkan di atas.
Berbeda dengan sistem sekuler, output pendidikan dalam sistem Islam adalah membentuk generasi yang bersyaksiyah Islam (kepribadian Islam). Tidak hanya cerdas dalam pola pikirnya, tetapi juga pemahamannya akan terintegrasi dengan sikap dan perilaku sehari-harinya. Seseorang yang berkepribadian Islam akan menjadikan pahala dan dosa sebagai pertimbangan sebelum bertindak. Selain itu, mampu mengendalikan emosi.
Islam melarang keras durhaka kepada kedua orang tua, sebagaimana Firman Allah Swt. di surah Luqman ayat 14-15.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. (14). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15).”
Penerapan Islam secara menyeluruh dalam khilafah akan mengurusi generasi dengan serius. Khilafah juga akan memberikan pendidikan terhadap keluarga sebagai madrasah pertama bagi generasi, sehingga terbentuk suasana kasih sayang dan ketakwaan. Kontrol masyarakat juga tidak berhenti melalui aktivitas saling menasihati.
Jikalau kemaksiatan kejahatan masih terjadi maka khilafah akan memberikan sanksi yang membuat jera pelaku dan anak-anak lainnya. Begitulah cara Islam membentuk generasi yang taat.