
Oleh : Nining Ummu Hanif
“Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Linimasanews.id—Sebagian orang mungkin masih ingat penggalan lirik lagu yang menggambarkan betapa negeri ini sangat subur tersebut. Indonesia, salah satu contoh negara agraris terbesar di dunia. Disebut negara agraris karena Indonesia mengutamakan sektor pertanian sebagai sumber dayanya. Ciri-ciri negara agraris: mayoritas penduduknya petani, lahan yang luas dan subur, persediaan air bersih yang melimpah.
Pupuk tentunya memiliki peranan penting bagi petani. Diperlukan pupuk bersubsidi dari pemerintah kepada petani untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi komoditas pertanian. Namun sayangnya, kenyataannya saat ini petani sulit mendapatkan pupuk subsidi. Kalaupun ada, harganya mahal, sehingga tak terbeli.
Contohnya, petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) harus menempuh jarak sekitar 80 kilometer (km) untuk mendapatkan pupuk bersubsidi (beritasatu, 23/6/24). Begitu juga petani di lereng Gunung Sumbing, Desa Gandurejo, Temanggung, Jawa Tengah. Kebijakan pembatasan penerimaan pupuk bersubsidi membuat petani kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau. Keterbatasan dalam mendapatkan Kartu Tani menjadi salah satu hambatan, membuat petani terpaksa beralih ke pupuk nonsubsidi dengan harga lebih tinggi. Mereka terpaksa membeli pupuk nonsubsidi seharga Rp335.000 per 50 kilogram, sedangkan pupuk bersubsidi sekitar Rp 120.000 per 50 kilogram (beritasatu, 15/11/23).
Kendala ini membuat biaya perawatan tanaman membengkak dan usaha bertani menjadi sulit. Penyaluran pupuk bersubsidi adalah tanggung jawab BUMN Pupuk Indonesia dan penyalurannya kepada masyarakat diverifikasi melalui kartu tani. Namun, permasalahan akses dan distribusi masih kerap terjadi. Diduga, masih ada kebocoran dalam distribusi pupuk bersubsidi.
Kapitalisasi Pupuk
Indonesia memberikan subsidi cukup besar untuk pupuk. Pada 2020 mencapai lebih Rp28 triliun, dengan serapan Rp26 triliun. Namun, tingginya subsidi yang diserap itu tidak seluruhnya dinikmati petani. Untuk mengontrolnya, pemerintah membuat kartu tani. Akan tetapi, jumlah kartu tani yang dibuat dan terdistribusi berbeda jauh. Ini menggambarkan bahwa penerima subsidi masih kecil.
Lebih buruk lagi, jumlah yang kecil itu masih diperparah dengan penyaluran yang tidak sepenuhnya kepada petani. Kartu Tani, bahkan yang memegang bukan petaninya, bukan kelompok taninya, tetapi pengecer pupuk. Di sinilah peran para mafia pupuk yang menyerobot jatah subsidi petani kemudian menjualnya dengan harga tinggi.
Selain PT Pupuk Indonesia selaku BUMN penyedia pupuk subsidi, ada perusahaan/swasta (lokal/asing) yang hendak masuk untuk turut mengais profit di sektor pupuk. Ini buah dari kapitalisasi pupuk, serta lepas tangannya negara dalam memenuhi kebutuhan pupuk bagi petani. Akibatnya, perusahaan yang menjadi pengendali, mulai dari pengadaan sampai pendistribusiannya. Bahkan, negara mempunyai utang subsidi pupuk kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebesar Rp12,5 triliun (ekonomi.bisnis.com, 20/6/24). Miris memang, negara mempunyai utang kepada perusahaan yang sejatinya adalah BUMN sendiri.
Permasalahan distribusi, regulasi yang tidak tepat sasaran, bahkan dominasi dari swasta menjadikan akses pupuk bersubsidi makin sulit dijangkau oleh petani. Imbasnya, makin jauh dan sulit untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan.
Ini akibat paradigma pemerintahan sistem kapitalis. Negara belum serius dalam meriayah (memberikan pengurusan dan pelayanan) sektor pertanian. Orientasi materi menjadi prinsip setiap kebijakan. Para pemilik modal menjadi pengendali utama, sementara pemerintah hanya menjadi regulator kebijakan.
Pertanian dalam Islam
Bidang pertanian mendapat perhatian yang besar dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tidaklah seorang muslim menanam sebatang pohon (berkebun) atau menanam sebutir biji (bertani), lalu sebagian hasilnya dimakan oleh burung, manusia atau binatang, melainkan baginya ada pahala sedekah.” (HR Al Bukhari, Muslim, At Tarmizi, Ahmad)
Dalam Islam, industri pupuk yang sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil pertanian harus dikuasai oleh negara untuk memenuhi kebutuhan petani. Pendistribusian pupuk ini juga dilakukan secara langsung kepada petani sehingga petani dapat dengan mudah mengakses dan memenuhi kebutuhan pupuk, tanpa birokrasi yang berbelit.
Peran negara dalam menjalankan politik ekonomi islam juga sangat besar. Hasilnya, kaum muslimin berhasil meraih masa kegemilangan di sektor pertanian dan memberikan kontribusi yang besar bagi kemakmuran umat selama berabad- abad.
Kebijakan pertanian pada masa Kekhilafahan Islam mencakup: Pertama, intensifikasi untuk meningkatkan hasil pertanian, seperti pemilihan bibit unggul dan pemupukan. Kedua, ekstensifikasi dengan perluasan area pertanian dengan menghidupkan tanah mati. Ketiga, pembangunan infrastruktur pertanian, seperti membangun irigasi, pengadaan pompa-pompa, kincir air, dan jalan. Keempat, litbang (penelitian dan pengembangan), seperti laboratorium bibit unggul, tehnik mengolah lahan, Kelima, dukungan kepada para petani, yaitu pemberian permodalan untuk para petani seperti pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab kepada para petani di Irak.
Dukungan negara khilafah terhadap sektor pertanian diberikan karena jika pertanian kuat maka kedaulatan pangan dan ketahanan pangan akan dapat terwujud. Alhasil, menjadi lumbung pangan bagi negara sendiri bahkan bisa mengekspor keluar negeri yang berarti menambah pemasukan bagi negara. Bukan tidak mungkin masa gemilang sektor pertanian pada masa kejayaan Islam yang lalu akan berulang, bahkan bisa jauh melebihi dengan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah Rasyidah.