
Oleh: Ummu Ghifa
Linimasanews.id—Ibadah haji merupakan bagian dari rukun Islam kelima, bagi yang mampu. Mampu artinya mampu dalam segala hal, bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi mampu dari fisik dan juga psikis. Tentu ini memerlukan persiapan yang sangat luar biasa, terutama pendanaan. Bahkan, ada yang berjuang menabung hingga puluhan tahun untuk bisa berangkat ke Tanah Suci.
Mirisnya, terulang kembali, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menuai keluhan berbagai pihak atas pelayanan yang memprihatinkan. Ini seharusnya tidak terulang, setelah di tahun sebelumnya pernah terjadi.
Di tahun 2023, kritik datang dari Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR yang mengungkapkan kondisi akomodasi jamaah yang memprihatinkan. Tenda jamaah haji Indonesia minim kapasitas. Ketua Timwas Haji Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyayangkan tenda sempit membuat ruang gerak jamaah tak lebih dari 1 meter. Selain itu, soal toilet, jamaah bisa antre berjam-jam.
Sementara itu, di tahun ini, Anggota Timwas Haji DPR yang juga Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzilly menemukan banyak jamaah haji asal Indonesia yang terpaksa tidur di luar tenda (cnnindonesia.com, 18/6/2024).
Sangat disayangkan, sekalipun ibadah haji telah usai, jamaah haji Indonesia sebagian sudah kembali ke kampung halamannya, namun masih menyisakan banyak permasalahan dalam banyak aspek, mulai dari kesehatan, imigrasi, hingga pelayanan. Padahal, calon jamaah haji harus rela menabung selama bertahun-tahun untuk bisa berangkat menunaikan ibadah haji, berharap ibadah bisa khusyuk. Akan tetapi, kenyataan jauh dari harapan. Perlu pendekatan yang lebih komprehensif agar pelayanan lebih optimal, bukan hanya sekadar memberikan sarana untuk ibadah, tapi ada tanggung jawab penuh dan pelayanan yang baik.
Komersialisasi
Sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem yang berasaskan manfaat. Maka untuk hal ibadah pun tidak lepas dari ajang komersialisasi. Inilah watak kapitalisme sekularisme. Dampaknya pada semua lini. Penyelenggaraan ibadah haji tak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu. Mereka memanfaatkan momen untuk meraup keuntungan yang luar biasa, meskipun mengorbankan kepentingan orang banyak.
Sebagian masyarakat mengusulkan adanya pansus untuk mengurusi ibadah haji. Namun, itu semua tidak akan mampu menyelesaikan karut-marut pelayanan ibadah haji. Sebab, akar masalahnya adalah paradigma pelayanan dalam sistem kapitalisme, yang mencari keuntungan di balik pelaksanaan ibadah haji.
Kondisi ini berbeda dengan sistem Islam. Islam menetapkan negara sebagai pelayan rakyat, termasuk mengurusi ibadah haji, sehingga rakyat akan nyaman dan aman selama melaksanakan ibadah. Negara akan mencukupi kebutuhan jamaah selama beribadah, ditempatkan di tempat-tempat nyaman sesuai aturan syariat ibadah haji, tanpa ada sekat antara si kaya dan si miskin. Sebab, semua sama di hadapan Allah Swt. Negara juga menjamin kenyamanan pelaksanaan ibadah haji dan memberikan fasilitas terbaik untuk para tamu Allah Swt.
Pemimpin yang amanah adalah ciri pemimpin dalam Islam. Pemimpin bertanggung jawab penuh atas seluruh kebutuhan rakyatnya, apalagi untuk menjalankan ibadah haji. Karena itu, seorang pemimpin mesti memberi pelayanan penuh dan berkualitas. Hal ini dibangun atas kesadaran akan adanya Hari Penghisaban kelak di akhirat.
Selain itu, dalam Islam, ibadah haji di bukan sekadar ibadah ritual atau penggugur kewajiban melaksanakan rukun Islam yang kelima. Islam memiliki mekanisme atau birokrasi yang sederhana, praktis, dan profesional, sehingga memberi kenyamanan kepada rakyat yang dipimpinnya.