
Oleh: Eki Efrilia
Linimasanews.id—Pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Profesor Budi Santoso menghebohkan. Pemecatan diduga akibat ketidaksetujuannya terhadap pemerintah yang berencana mendatangkan dokter dari negara lain alias dokter asing ke Indonesia (Kompas.com, 4 Juli 2024).
Rencana Kementerian Kesehatan mendatangkan dokter asing ini bertujuan untuk mengatasi kekurangan dokter ahli dalam penanganan operasi terhadap bayi berpenyakit kelainan jantung bawaan. Menurut Menteri Kesehatan, ada sekitar 12 ribu nyawa bayi per tahun yang berisiko meninggal akibat kelainan jantung bawaan di Indonesia (Tempo.co, 4 Juli 2024).
Upaya mendatangkan dokter asing dirasa sebagai keputusan yang tidak populer oleh banyak kalangan karena jumlah dokter yang menjadi pengangguran saat ini pun banyak. Mengutip Kompas.tv (5 April 2022), pada 2022, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi pernah menyampaikan bahwa ada sekitar 2.500 dokter muda yang menganggur. Menurutnya, itu terjadi akibat adanya perubahan regulasi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran pada tahun 2013 yang mengarah pada exit exam, yaitu uji kompetensi yang dilakukan sebelum dokter muda lulus dan menyandang gelar dokter.
Banyaknya dokter yang gigit jari akibat tidak ada kesempatan kerja ini sangat ironis. Jika ditambah dengan ancaman hadirnya dokter-dokter asing, patut dipertanyakan kelanjutan nasib dokter-dokter dalam negeri. Apakah negara mampu menyelesaikan problem tersebut?
Ditambah lagi, tahun ini Kementerian Pendidikan membuka lebar kesempatan kampus-kampus negeri membuka jurusan-jurusan kedokteran. Bisa dibayangkan, betapa banyak dokter di Indonesia saat ini. Pasti kita sangat khawatir nasib mereka akan sama dengan 2500 dokter muda yang masih pengangguran di tahun 2022 lalu.
Biang permasalahan sistem kesehatan di Indonesia ini adalah kapitalisme, yaitu adanya langkah kapitalisasi kesehatan. Diduga, ‘cuan’ adalah tujuan utama dari pengadaan dokter asing ini. Sebab diketahui, wacana mendatangkan dokter asing sudah sejak tahun 2020. Selain itu, ada wacana Indonesia menjadi tujuan wisata kesehatan. Tentu ujung yang diharapkan adalah pemasukan keuangan bagi negara.
Wacana mendatangkan dokter asing sempat ditolak mentah-mentah Wakil Ketua Umum IDI, Slamet Budiarto yang menyatakan bahwa kualitas dokter domestik tidak kalah dengan kualitas dokter asing. Hanya saja, permasalahan Indonesia adalah alat kesehatannya yang ketinggalan jauh dari luar negeri. Menurutnya, negara mematok pajak tinggi untuk masuknya alat-alat kesehatan di Indonesia, sehingga rumah sakit tidak ada kemampuan untuk membelinya. Menurut Slamet, kucuran dana dari negara juga kecil untuk memajukan dunia kedokteran di Indonesia. Slamet menyarankan negara mengadakan alat kesehatan dan obat yang tidak dikenai pajak, pembiayaan kesehatan harus rasional, warga negara Indonesia lulusan kampus terkemuka di luar negeri diminta kembali ke Indonesia dan yang terakhir, negara diminta untuk memperbaiki sistem kesehatan (Tempo.co, 4 Juli 2024).
Dalam ajaran Islam, tentu saja tujuan sistem kesehatan bukanlah untuk cuan atau penghasil dana segar untuk negara, melainkan untuk kemaslahatan umat secara merata, baik yang tinggal di perkotaan maupun di pelosok yang jauh dari ibukota.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di masa kekhilafahan Islam, sumber pembiayaan bagi kesehatan rakyat bukanlah berasal dari pajak, melainkan dilakukan sepenuhnya oleh khilafah melalui pos-pos pemasukan Baitul Mal seperti pengelolaan barang tambang dan kekayaan alam lainnya. Khilafah juga memfasilitasi bagi perorangan yang ingin berkontribusi langsung kepada umat dengan berwakaf di bidang kesehatan dan pendidikan, sehingga pada saat itu jamak terdapat fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis.
Bukti nyata, sejarah mencatat, pada masa pertengahan di hampir seluruh kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Rumah sakit-rumah sakit tersebut tidak mengenakan bea apa pun bagi pasien maupun keluarganya, meski rumah sakit tersebut berfasilitas pelayanan mewah. Rumah sakit gratis dan mewah ini, membuat para pelancong banyak yang ingin merasakannya. Mereka akan diperbolehkan menginap di sana. Apabila selama 3 hari tidak terbukti sakit, barulah mereka diminta pergi.
Contoh kemegahan rumah sakit di masa keemasan Islam itu adalah rumah sakit Qalaqun di Kairo yang daya tampungnya 8.000 pasien. Jumlah pasien sebanyak itu dengan fasilitas rumah sakit yang bagus, tentu saja membutuhkan sangat banyak paramedis (dokter, perawat, dan lain-lain) yang mumpuni. Ketersediaannya sudah pasti khilafah-lah yang mengupayakannya. Dengan begitu, kita tidak perlu khawatir banyak dokter dan paramedis lain akan menganggur seperti yang terjadi saat ini.
Fakta ini mengingatkan kaum muslim agar selalu mencari solusi terbaik bagi kemaslahatan umat, termasuk masalah kesehatan. Umat sangat membutuhkan tubuh yang sehat dalam menjalani kehidupan. Dalam Islam, hal itu merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan sarana prasarana kesehatan yang memadai.
Sistem Islam-lah satu-satunya solusi bagi kemaslahatan umat. Karena itu, upaya menegakkan sistem Islam adalah sebuah keniscayaan. Dakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam adalah jalannya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)