
Oleh: Susi Ummu Umar
Linimasanews.id—Jakarta (ANTARA), Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen Komjen (Purn.) Dharma Pongrekun meminta pemerintah mewaspadai perjanjian pandemi (pandemic treaty) yang akan disahkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health World (WHO) di sidang ke-77 pada Mei 2024.
“Pandemic Treaty ini bisa jadi merupakan strategi terselubung asing yang berpotensi membuat hilangnya kedaulatan negara-negara di dunia termasuk Indonesia dengan biaya murah, karena tanpa perang dan sangat menguntungkan yang menggunakan isu kesehatan,” kata Dharma Pongrekun di Jakarta (24/2/2024).
Menurut dia, melalui WHO untuk memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Pandemic treaty adalah istilah untuk menyebut tentang perjanjian untuk mengatasi masalah-masalah dalam penanganan pandemi seperti ketimpangan akses pada kebutuhan pandemi serta minimnya inisiatif kerja sama antar negara. Perjanjian atau instrumen tersebut diinisiasi pada World Health Assembly (WHA) November 2021 lalu yang disepakati oleh negara-negara anggota WHO. Instrumen tersebut akan disusun melalui perundingan formal melalui Intergovernmental Negotiating Body (INB) dan diharapkan dapat selesai dan diadopsi pada tahun 2024.
Tujuan awal dari ,”Pandemic Treaty” tersebut ini adalah membahas masalah bagaimana memastikan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi dan perusahaan swasta berperilaku adil, tidak menimbun jutaan dosis vaksin berlebih atau menolak untuk berbagi pengetahuan dan produk yang dapat menyelamatkan jiwa, dan bahwa terdapat mekanisme untuk melakukan hal tersebut. Masalah lainnya adalah memastikan bahwa negara-negara bekerja sama dan bukan saling bertentangan. Isu-isu ini masih menjadi permasalahan utama dalam perundingan saat ini, akses dan pembagian manfaat (siapa mendapat apa, berapa banyak, dan kapan) serta tata kelola dan akuntabilitas (sejauh mana suatu negara diharuskan melakukan sesuatu).
Namun, kritik terhadap draft terakhir, menunjukkan tujuan dari perjanjian tersebut belum sepenuhnya terlihat, bahkan jauh dari kata adil. Editorial dari jurnal The Lancet berjudul “The Pandemic Treaty: shameful and unjust”, menyoroti Pasal 12 yang menetapkan bahwa WHO hanya memiliki akses terhadap 20% produk terkait pandemi untuk didistribusikan berdasarkan risiko dan kebutuhan kesehatan masyarakat.
Sementara 80% lainnya—baik vaksin, pengobatan, atau diagnostik—akan menjadi korban pergolakan internasional seperti yang terjadi pada Covid-19 yang menyebabkan teknologi kesehatan penting, dijual kepada penawar tertinggi. Sebagian besar masyarakat dunia tinggal di negara-negara yang mungkin tidak mampu membeli produk-produk ini, namun tampaknya hanya 20% saja yang bersedia disetujui oleh negara-negara berpendapatan tinggi.
Indonesia sendiri, seperti dikutip dari laman resmi Kemenlu RI menyatakan dukungan atas “Pandemic Treaty” yang dinilai dapat memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Selain itu, “Pandemic Treaty” juga dimaksudkan sebagai upaya kolektif untuk memastikan akses yang adil ke penyelesaian masalah kesehatan dan teknologi untuk negara berkembang.
Dalam Islam, kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Namun sayang, penguasa saat ini tampak berlepas tangan dari kewajiban untuk menjamin berbagai kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyat.
Islam dapat menyelesaikan pandemi tanpa harus bekerja sama dengan negara kafir, yang akhirnya lebih menguntungkan mereka dari pada kaum muslim, seperti lembaga-lembaga kesehatan dunia seperti WHO. Ini lebih kepada penjajahan tidak langsung atas nama kerja sama dalam kesehatan.
Sejarah mencatat bahwa pada saat wabah black-death melanda Eropa, tak kurang dari 50 juta jiwa melayang sebagai korban. Bahkan pada saat itu tidak tercatat penanganan yang signifikan. Sedangkan wabah pes ini juga melanda ke-Khilafahan Ustmani khususnya wilayah Granada (Spanyol saat ini). Dalam penyebarannya, wabah tha’un dinilai bisa meluas akibat adanya kontak. Sehingga dalam penanggulangannya, Islam memiliki cara yang khas untuk memutuskan berjangkitnya wabah di suatu negeri. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنهَا
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata, “Jika kalian mendengar adanya tha’un di suatu daerah, maka jangan memasuki daerah tersebut; dan ketika kalian berada di dalamnya (daerah yang terkena tha’un), maka jangan keluar dari daerah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, seorang ulama asal Granada, Ibnu al-Khatib menurut William B. Ober dan Nabil Alloush dalam “The Plague at Granada 1348–1349: Ibn Al-Akhatib and Ideas of Contagion” yang terbit dalam Bulletin of the New York Academy of Medicine menuliskan beberapa rekomendasi pengobatan juga menekankan bahwa tha’un adalah penyakit menular sehingga bisa dicegah penyebarannya dengan melakukan tindakan isolasi (historia.id).
Selain tindakan tegas dari penguasa dan ulama di wilayah Khilafah untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Wabah smallpox yang melanda Khilafah Usmani pada Abad 19 turut membangkitkan kesadaran di kalangan penguasa tentang pentingnya vaksinasi smallpox (cacar). Sultan memerintahkan pada tahun 1846 penyediaan fasilitas kesehatan untuk vaksinasi terhadap seluruh anak-anak warga Muslim dan nonmuslim.
Namun, wabah smallpox kembali terjadi pada tahun 1850 akibat banyaknya orang tua yang tidak menginokulasi anak-anak mereka. Sultan menyatakan bahwa tindakan para orang tua yang lalai mengantar anak-anak mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi telah melanggar syariah dan hak anak. Padahal, Sultan telah menyiapkan banyak sekali faskes serta dokter dan profesional kesehatan lainnya (al-Waie.id mengutip dari Demirci T, 2008).
Selain melakukan penanggulangan, pada masa Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang bahkan menepiskan keinginannya untuk makan enak sebelum wabah hilang atau sebelum situasi ekonomi Khilafah pada saat itu membaik. Semua contoh ini merupakan tindakan tegas dan nyata dari para punggawa dan ulama yang hidup pada masa kekhilafahan. Bahkan, Khilafah sudah mencatat dengan tinta emas, bahwa tha’un berhasil dikendalikan serta penciptaan vaksin berhasil digalakkan.
Adapun keberhasilan tersebut tidak semata-mata merupakan kebijakan dan kecerdasan manusia. Kebijakan dan kecerdasan dalam berpikir serta bersikap yang tercermin dalam diri pemimpin dan ulama di era Khilafah merupakan sebuah refleksi dari indahnya kepribadian Islam. Kepribadian Islam merupakan paduan kokoh, terbentuk dari aqliyah dan nafsiyah yang benar sehingga pola pikir dan pola sikap yang dilakukan pun benar, yakni bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sehingga baik di tataran teoritis maupun praktis, hanya paradigma dan konsep-konsep Islam berupa syariat kaffah satu-satunya pembebas Indonesia dan dunia dari penderitaan ancaman global berbagai wabah. Berwujud pada sistem ekonomi dan politik Islam, yakni Khilafah. Apabila diterapkan secara praktis akan menjadi solusi segera yang dapat dirasakan kebaikannya oleh dunia.
Akhir kata, semoga firman Allah Swt. dalam surah Al-A’raf ayat 96 ini bisa menjadi obat bagi keraguan kita dalam memilih untuk tunduk dan taat pada sistem yang mendapat rida dari Allah Swt. Firman Allah
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Mari buang keraguan dan tanamkan bahwa Islam kaffah adalah solusi hakiki semua krisis, khususnya di masa pandemi. Wallahu a’lam bish shawab.