
Oleh: Adeeva Dzakiya (Aktivis Muslim)
Linimasanews.id—Kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di antaranya, kasus pencabulan terhadap anak yang lagi-lagi terjadi. Seorang siswi berusia 13 tahun yang masih duduk di bangku sekolah dasar daerah Baubau, Sulawesi Tenggara, dicabuli oleh 26 orang pelajar. Perwakilan Kapolres Baubau, AKBP Bungin Masokan Misalayuk mengatakan, kasus kekerasan ini sudah terjadi berulang kali. Bahkan, ada kemungkinan korban dicabuli sebanyak 7 kali sejak April hingga Mei lalu (CNNIndonesia, 23/6).
Bukan hanya kasus pencabulan, kasus penganiayaan pada anak juga kerap terjadi. Salah satunya, seorang anak di Padang mengalami penganiayaan hingga tewas. Pelaku atas kejadian nahas ini diduga seorang oknum kepolisian. Korban (AM) diduga dipukul menggunakan rotan, ditendang, disundut dengan rokok, dicambuk, dipaksa berguling hingga muntah, hingga pemaksaan seksual, hingga akhirnya ditemukan warga dalam kondisi wafat di bawah jembatan aliran Batang Kuranji, Kota Padang (suara.com, 3/7/2024).
Dua kasus mengerikan ini hanya sebagian contoh dari banyaknya kasus kekerasan pada anak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang 2024 ini saja terhitung sudah 11.772 kasus kekerasan anak terjadi. Pelakunya pun beragam, bisa teman sebaya atau orang dewasa, termasuk orang tua, guru, sanak saudara, dan sebagainya (kemenppa, 2024).
Pemerintah bukannya tidak melakukan upaya pencegahan dan solusi penanggulangan. Upaya perumusan hukum dan sanksi yang berat bagi pelaku telah dibuat. Misalnya, pada Pasal 80 (2) UU No.35 Tahun 2014 disebutkan bahwa hukuman bagi pelaku kekerasan anak adalah penjara 5 tahun dan denda 100 juta.
Sayangnya, hukum yang seperti ini tidak memberikan efek jera maupun memberikan dorongan pada setiap individu untuk berperilaku baik terhadap sesama. Maka, bisa dikatakan hukum seperti ini tidak solutif mengatasi permasalahan kekerasan anak. Oleh karenanya, satu-satunya cara untuk menemukan hukum yang solutif adalah dengan melihat akar masalahnya.
Jika ditarik lebih dalam lagi, kasus kekerasan seperti ini adalah buah dari kurangnya pendidikan l yang didapatkan seorang anak di rumah. Saat ini, fungsi ibu sebagai “madrasah pertama” seorang anak mulai hilang. Sayangnya, hilangnya fungsi ibu ini sering karena banyak ibu yang memutuskan untuk bekerja di luar rumah atas nama pemberdayaan perempuan. Mirisnya, pemerintah menciptakan regulasi pemberdayaan perempuan dalam sektor ekonomi.
Di lain sisi, sering kali seorang ibu juga bekerja karena kondisi ekonomi yang tidak menentu. Para ibu terpaksa bekerja demi menambah pemasukan karena penghasilan yang didapatkan suami tidak sebanding dengan pengeluaran rumah tangga yang dibutuhkan.
Kondisi ini diperparah dengan adanya pemahaman sekularisme yang mendarah daging di tengah masyarakat. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan menjadi landasan bernegara dan bermasyarakat. Alhasil, pendidikan yang disajikan oleh negara pun menjauhkan anak dari agama. Tidak ada pembelajaran Islam sebagai standar berperilaku dan penentu benar-salah. Maka, tak heran anak maupun orang dewasa menjadi “gagap” dalam menilai perilaku benar-salah.
Dengan demikian, kita mendapati fakta sistem saat ini memang gagal menghasilkan generasi unggul yang berakhlak mulia. Justru sistem ini menghasilkan generasi yang krisis jati diri. Anak tidak mengenal dirinya sendiri, tidak paham hakikat penciptaan dirinya di muka bumi ini. Alhasil, anak tumbuh dengan terbiasa menjadikan kepuasan duniawi sebagai tujuan kehidupan dan meninggalkan syariat sebagai standar berperilaku. Apabila dia menemukan kepuasan ketika melecehkan atau melakukan kekerasan pada orang lain, hal itu akan dia lakukan, sekalipun bertentangan dengan syariat Allah.
Maka dari itu, persoalan kekerasan pada anak yang pelik ini hanya bisa terselesaikan apabila sistem yang diterapkan negara mampu mendukung fungsi ibu di rumah. Selain itu, sistem yang diterapkan pun harus mampu membentuk sistem masyarakat yang menjunjung tinggi syariat Islam dalam kehidupan.
Sepanjang peradaban umat manusia, penerapan hukum Islam secara kafah di bawah naungan Khilafah adalah satu-satunya sistem yang mampu menciptakan hal tersebut. Terbukti, sepanjang berdirinya Khilafah selama kurang lebih 13 abad, Khilafah mampu melahirkan generasi unggul, pemuda yang berkepribadian Islam, beradab, dan berakhlak mulia. Bahkan, Khilafah banyak mencetak ilmuwan yang menjadi peletak kemajuan sains dan teknologi saat ini. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari bentuk negara yang taat dan tunduk pada aturan Allah. Fakta sejarah ini makin memperkuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi atas permasalahan umat.