
Oleh: Sri Lestari, S.T.
Linimasanews.id—Derasnya kemajuan teknologi era digital tidak terbendung lagi. Mau tidak mau, masyarakat harus mengikuti moderenisasi kemajuan teknologi. Kondisi ini membuat masyarakat harus terjun ke dunia daring (dalam jaringan/online).
Kemajuan teknologi sebenarnya banyak memberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan. Seperti, kemudahan akses informasi, komunikasi jarak jauh, mudah dalam menyelesaikan pekerjaan, dan sebagainya.
Namun, di samping nilai positif, ternyata kemajuan teknologi juga melahirkan sesuatu yang menjadi bumerang. Salah satunya, pinjaman online (pinjol). Jika masyarakat tidak berhati-hati dan tidak memiliki ilmu, kondisi ini bisa membuat babak belur.
Pinjol menjadi racun yang saat ini dinikmati masyarakat. Makin sulitnya menghadapi kenyataan hidup dalam memenuhi kebutuhan, masyarakat dapat dengan mudah mengakses pinjaman online. Dengan persyaratan yang sangat mudah, tawaran yang menggiurkan di awal transaksi, membuat semua kalangan bisa melakukannya. Sesaat masyarakat merasa dimudahkan dan diuntungkan untuk mendapatkan uang, tetapi di balik itu justru makin dililit kesulitan.
Penambahan bunga dan denda keterlambatan membayar, sangat rentan membuat utang makin membesar. Banyak orang yang terjebak dalam pinjaman online mengalami siklus utang yang sulit ditebus. Hal ini membuat mereka mencari pinjaman baru untuk menutup pinjaman lama. Dengan kata lain, gali lubang tutup lubang. Jika hal demikian terus dilakukan dan berkelanjutan, utang akan terus bertambah. Ini sangat bahaya karena mampu membuat seseorang menjadi depresi dan stres.
Namun, sungguh mencengangkan, pinjaman online justru diwacanakan menjadi salah satu solusi bagi mahasiswa untuk pembiayaan uang kuliah. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mendukung wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa untuk membayar uang kuliah (CNNIndonesia, 2/7/2024).
Pinjaman online yang dianggap solusi pembiayaan uang kuliah bagaikan racun dibalut madu. Sesaat memberikan solusi, namun pada hakikatnya merusak dan menghancurkan nasib generasi di masa mendatang.
Jika kita telisik, solusi ini bukan untuk mahasiswa, melainkan untuk para pengusaha pinjaman online. Jika pinjaman online sudah mendapat pintu di dunia pendidikan, fokus mahasiswa akan beralih untuk mencari uang guna membayar pinjaman. Alhasil, mereka tidak fokus menuntut ilmu. Lebih dari itu, jika terjadi keterlambatan membayar tentu akan membuat utang membesar. Depresi dan stres pun akan menghampiri.
Di era kapitalis ini, pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru ditanggung oleh setiap individu. Watak bisnis di dunia pendidikan sangat melekat pada sistem kapitalis. Tidak mengherankan jika pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan perguruan tinggi mendapat karpet merah. Padahal, sangat nyata akan menghantarkan kerusakan dan merusak masyarakat. Semboyan akan mencerdaskan generasi bangsa bagaikan mimpi di siang bolong ketika negara berlepas tangan dari dunia pendidikan.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Negara berkewajiban menyediakan pendidikan gratis untuk masyarakat, bahkan jika ada yang tidak mau belajar, negara akan memberikan sanksi untuknya. Pembiayaan pendidikan ditanggung oleh negara melalui pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang dikelola negara dan hasilnya untuk kepentingan umum.
Negara juga menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai. Semua diberikan kepada masyarakat secara gratis. Di dalam Islam, pendidikan tidak menjadi lahan bisnis bagi penguasa. Tugas negara tidak sebagai regulator, namun sebagai pengurus dan penanggung jawab urusan masyarakat. Sehingga penguasa bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan warganya. Hal itu karena pendidikan adalah salah satu di antara banyak perkara yang wajib diurus oleh negara.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tampak jelas, ketika pinjaman online merambah pendidikan maka akan merusak nasib generasi mendatang. Hanya dengan kembali ke paradigma Islam, semua kalangan masyarakat dapat menikmati pendidikan secara gratis.