
Oleh: Neti E.
Linimasanews.id—Pada perayaan Hari Pajak 14 Juli 2024 lalu, Direktur Jendral (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengatakan, pajak merupakan bagian dari kehidupan negara karena sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan. Pajak dinilai lazim sebagai tulang punggung negara. Di tahun 2024 ini, pajak ditargetkan mampu mencapai angka Rp1.988,9 triliun (cnnindonesia.com, 14/07/24).
Selain itu, terhitung sejak 1 Juli 2024, semua NIK dapat diimplementasikan penuh sebagai NPWP untuk memastikan setiap orang yang memiliki kewajiban membayar pajak memiliki NPWP yang valid dan terhubung ke NIK. Artinya, semua penduduk yang memiliki NIK dapat menjadi peserta wajib pajak. Wajib pajak yang tidak melakukan pemadanan data akan dikenai sanksi.
Angka pajak yang terus naik tersebut dinilai sebagai keberhasilan kinerja Dirjen Pajak. Sebagaimana anggapan dengan banyaknya pemasukan pajak maka kemampuan dalam mendukung kemajuan bangsa pun makin besar. Akan tetapi, anggapan ini ada baiknya ditinjau ulang. Naiknya pajak seharusnya bukan menjadi bukti keberhasilan sistem pemerintahan. Sebab, makin banyak pajak justru menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat yang akhirnya mengurangi kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Pajak sebagai tulang punggung negara dapat diartikan bahwa setoran pajak rakyatlah yang menjadi motor penggerak tata kelola negara, sedang pemerintah hanya sebagai penghimpun dan pengatur alokasi dana. Patut dipertanyakan, di mana peranan negara sebagai penjamin kesejahteraan rakyat?
Dalam sistem kapitalis, pajak adalah sumber terbesar keuangan negara untuk membiayai pembangunan. Inilah sistem yang sedang bercokol di negeri ini. Terbukti, pajak menjadi pendapatan negara yang utama. Dalam kapitalisme, pembebanan pajak dipukul rata. Hampir semua elemen, kaya maupun miskin tidak luput terkena pajak.
Selain itu, besarnya pun tidak disesuaikan dengan kemampuan perorangan. Pajak tempat tinggal atau yang disebut pajak bumi dan bangunan, misalnya, besarannya merata untuk semua kalangan, yaitu ditentukan dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang dipengaruhi lokasi, nilai dan kondisi, bukan disesuaikan dengan kondisi pemilik objek pajak. Contoh lain, pajak kendaraan bermotor antara pedagang sayur keliling dan pengusaha besar. Standar nilai pajak yang digunakan juga sama, berdasarkan nilai barang yang terkena pajak, tidak disesuaikan kemampuan penanggung pajak.
Jadi, jelas sistem kapitalis ini tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan, sekadar makanan atau kebutuhan pokok yang dibeli di toko pun terkena pajak. Sekali pun tidak dibebankan pajak melalui NPWP, sejatinya rakyat sudah terkena pajak berkali-kali.
Besarnya pungutan pajak sejatinya adalah kezaliman. Ini juga menunjukkan negara tidak mampu menjadi pengurus dan penjamin kesejahteraan rakyat. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator dalam menentukan tata kelola urusan negara.
Hal ini berbeda sekali dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara berperan sepenuhnya dalam mengurus dan mengupayakan kesejahteraan rakyat. Sistem pemerintahan Islam (khilafah) tidak membebankan pendapatan dari pajak. Semua pembiayaan dan operasional negara didapatkan dari hasil pengolahan kekayaan negara yang berupa sumber alam maupun hasil bumi. Dengan kekayaan tersebut pemerintah akan mencukupi kebutuhan rakyatnya, dari kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, papan, juga pendidikan dan kesehatan. Pungutan pajak diberlakukan hanya apabila terjadi kekosongan dana dan akan dibebankan pada yang kaya saja.
Begitu pentingnya amanah menjaga kesejahteraan rakyat dalam pandangan Islam. Karena itu, bukan lagi untung rugi yang dicari, melainkan kemaslahatan umat sebagai tujuan utama. Hal itu untuk mendapat rida Allah semata.