
Oleh: Zaidah Khoiru Umami (Santri Ideologis)
Linimasanews.id—Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati memamerkan angka penerimaan pajak yang terus meningkat sejak tahun 1983, yang mulanya Rp13 triliun menjadi Rp1.988,9 triliun di tahun 2024 ini. Hal itu ia sampaikan pada 14 Juli dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional di Plaza Tenggara GBK, Jakarta Pusat (liputan6.com, 14 Juli 2024).
Pajak dianggap alat yang sangat penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk menggapai cita-citanya. Menkeu juga menyampaikan bahwa dengan pajaklah suatu negara akan maju. Makin besar pajak, makin besar kemungkinan negara tersebut akan maju.
Tak mengherankan karena di sistem kapitalis, pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara. Dalam sistem ini negara hanya sebagai fasilitator dan regulator dalam menentukan tata negara. Padahal, sejatinya peningkatan tersebut justru menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat.
Karena itu, pungutan pajak atas rakyat ialah bentuk kezaliman aparat negara atas rakyat. Peningkatannya makin menunjukkan bahwa negara abai dari perannya sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat.
Ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, pendapatan negara bukan dari pajak, melainkan dari berbagai sumber. Jumlah pun besar. Dalam Islam sistem keuangannya berbasis Baitul Mal dengan tiga pos pemasukan negara. Pertama, pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fa’i dan kharaj, yang meliputi ghanimah, anfal, khumus, fa’i, kharaj, status tanah, dan jizyah. Jenis harta tersebut menjadi pemasukan tetap negara. Sedangkan yang tidak tetap berupa dharibah (pajak).
Kedua, pos kepemilikan umum yang bersumber dari harta pengelolaan SDA, seperti minyak, pertambangan, laut, sungai, hutan, dan lain-lain. Dalam penjagaannya, negara membuatkan tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.
Ketiga, pos zakat yang bersumber dari zakat fitrah dan zakat mal kaum muslimin, juga menampung harta sedekah, infaq, dan wakaf kaum muslimin. Negara juga harus membuat tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.
Negara Islam memandang dharibah (pajak) sebuah kewajiban atas rakyat jika kondisi Baitul Mal menipis atau kosong, sedangkan sudah menjadi kewajiban negara untuk membiayai kebutuhan rakyat yang sifatnya genting dan jika tidak segera dipenuhi akan Menimbulkan dharar (bahaya). Akan tetapi, pajak ini hanya akan diambil dari rakyat yang sudah tercukupi kebutuhannya dan keluarganya, sehingga pajak tidak diambil dari semua rakyat.
Inilah pengelolaan sesuai dengan syariat Islam. Sistem Islam memandang bahwa negara sebagai ra’in (pengurus) yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat dengan mengelola sumber pemasukan sesuai syarak dan akan menjaga rakyat agar tetap dalam koridor syarak.
Tampak jelas perbedaan dharibah (pajak) menurut sistem ekonomi Islam dengan pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Konsep ekonomi Islam tidak akan terwujud jika negara tetap menganut sistem kapitalisme. Konsep ekonomi Islam hanya akan terasa dan memberikan kebersihan manakala ada daulah al-khilafah ‘ala minhaajinnubuwwah.