
Oleh: Sri Lestari, S.T.
Linimasanews.id—Bumi Pertiwi dijuluki sebagai surga dunia. Kekayaan alam yang berlimpah ruah menjadi aset yang dimilikinya. Letak geografis dan astronomis menjadi penyebab Bumi Pertiwi memiliki potensi sumber daya alam yang besar, terbentang luas di darat maupun di laut.
Beberapa kekayaan alam yang ada di Bumi Pertiwi seperti hutan yang terbentang seluas 99.6 hektare, laut yang luas menyimpan berbagai macam ikan dan mutiara, tanah yang subur, minyak bumi, batu bara, bauksit, pasir besi, emas, timah, nikel, perak, belerang dan sebagainya.
Seharusnya rakyat dapat menikmati kekayaan alam yang berlimpah ruah, Namun, semua kenikmatan itu sirna. Impian menikmati kekayaan alam hanyalah khayalan. Kekayaan alam yang seharusnya terdepan untuk menyejahterakan, saat ini tergantikan dengan pajak. Pajak dianggap sebagai sumber pendapatan yang mampu menyejahterakan.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pajak adalah tulang punggung sekaligus instrumen penting bagi negara untuk mencapai cita-citanya. Sri Mulyani juga merasa bangga karena angka penerimaan pajak terus meningkat secara signifikan (CNNIndonesia, 14/7/).
Lantas ke manakah kekayaan alam Bumi Pertiwi yang berlimpah? Sudah menjadi rahasia umum, pengelolaan kekayaan alam diserahkan kepada para pengusaha, sementara negara hanya sebagai penerima pajak. Perusahaan besarlah yang mengelola sumber daya alam, seperti PT Freeport yang mengelola emas, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang mengelola batu bara, PT RAPP yang mengelola hutan dan perusahaan lainnya. Sungguh menyedihkan dan menyesakkan dada.
Pajak sebagai sumber pendapatan negara ini menjadi indikasi bahwa rakyat yang menopang sumber pendapatan negara. Dengan kata lain rakyat yang menanggung beban negara. Adanya pajak sebagai sumber pendapatan juga membuat rakyat makin sulit memenuhi kebutuhan. Bagaimana tidak, adanya pajak membuat harga kebutuhan pokok menjadi naik. Pajak yang dijadikan sebagai sumber pendapatan negara, membuat rakyat tidak leluasa memiliki rumah dan kendaraan. Bahkan ketika rakyat memiliki pendapatan yang besar juga akan dikenai pajak.
Terlebih lagi, pungutan pajak yang diberlakukan menyasar semua kalangan masyarakat, baik miskin maupun kaya. Kondisi ini makin membuat masyarakat sulit. Untuk bertahan hidup saja sulit, ditambah lagi harus membayar pajak, tentu ini makin membebani rakyat.
Hal tersebut wajar terjadi di dalam sistem kapitalis. Peran negara dalam sistem kapitalis hanyalah sebagai fasilitator dan regulator. Dalam kapitalis, pajak menjadi sumber pendapatan negara untuk membiayai pembangunan.
Besarnya pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat, sejatinya menampakkan bahwa negara berlepas tangan dalam mengurusi urusan rakyat. Pajak juga bentuk kezaliman terhadap rakyat. Sebenarnya, nasib rakyat berada digenggaman negara. Ketika negara menjadikan bisnis dalam mengurusi urusan rakyat, hal ini akan membuat nasib rakyat makin sekarat.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, sistem yang berasal dari Sang Ilahi. Dalam Islam, negara berperan sebagai pengurus dan pengatur rakyat. Dalam Islam, negara sangat berhati-hati dalam mengurus urusan rakyat. Dalam Islam, negara yang mengelola sumber daya alam dan hasilnya untuk kepentingan rakyat, seperti untuk pendidikan, kesehatan, pembangunan, perbaikan jalan dan kebutuhan rakyat lainnya.
Dalam Islam, sumber pendapatan utama negara bukan pajak, akan tetapi kekayaan alam yang dikelola oleh negara. Negara tidak memberikan peluang sedikitpun bagi pengusaha untuk menguasai kekayaan alam. Pajak hanya diberlakukan kepada kafir dzimmi. Itu pun bagi yang mampu, tatkala kas negara di Baitul Mal kosong. Negara juga memberlakukan pajak bagi masyarakat yang mampu saja dan hanya bersifat sementara. Dengan kata lain, pungutan pajak ditetapkan secara temporal, bukan rutin seperti saat ini.
Tampak dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a., ia menghapus kewajiban pajak (jizyah) atas seorang lelaki tua yang miskin. Ia bahkan memerintahkan Baitul Mal untuk memberikan bantuan keuangan kepada orang tersebut.
Demikianlah Islam telah memberikan aturan yang rinci dalam menciptakan sistem kekuasaan dan penguasa yang benar-benar mengurusi urusan rakyat. Dengan dorongan ketakwaan, penguasa akan bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam melindungi dan menjamin kehidupan rakyat. Penguasa dalam Islam amat takut ketika mereka lalai dalam mengurusi rakyat. Sebab, sesungguhnya jabatan mereka dapat menjadi bencana tatkala mereka berbuat zalim kepada rakyat.
Alhasil, hanya dengan mewujudkan kepemimpinan Islam yang mampu membuat rakyat sejahtera. Hanya dengan pengaturan Islam rakyat dapat menikmati kekayaan alam.