
Oleh: Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
Linimasanews.id—Dari tahun ke tahun, peringatan Hari Anak Nasional (HAN) diperingati setiap 23 Juli. Namun, lembaran permasalahan anak kian menggunung tinggi. Tahun ini, pemerintah telah mengambil langkah dengan menentukan tema peringatan Hari Anak Nasional. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengambil enam poin penting pada peringatan HAN tahun ini.
Adapun enam subtema yang dipilih, Suara Anak Membangun Bangsa, Anak Cerdas Berinternet Sehat, Pancasila di Hati Anak Indonesia. Kemudian, Anak Pelopor dan Pelapor, Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja Anak, dan Stunting; dan Digital Parenting.
Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar mengatakan, HAN 2024 akan mengusung tema ‘Anak Terlindungi, Indonesia Maju’. “Anak Indonesia harus dipenuhi hak-haknya, dan dilindungi jika mereka menghadapi persoalan sehingga untuk mewujudkan hal tersebut, ada beberapa subtema yang perlu menjadi perhatian,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar dalam keterangannya di Jakarta, dikutip rri.co.id, Senin (24/6/2024).
HAN, Sebatas Seremoni?
Seremonial yang dicanangkan ini terbit di tengah balada problematika anak yang tak kunjung usai. Tema “Anak Terlindung, Indonesia Maju” tentu adalah napas harapan bagi bangsa ini. Namun faktanya, lembaran problematika anak yang menggunung belum terakomodir penyelesaiannya secara tuntas di tengah pusaran arus kehidupan kapitalistik.
Kekerasan pada anak, dekadensi moral anak, pelaku kriminal anak, judi online, game online, dan permasalahan lain mewarnai dunia anak. Permasalahan lain seperti tidak terpenuhinya pendidikan di tengah kehidupan anak secara merata sangat dirasakan dari waktu ke waktu, pun dengan kasus stunting yang masih tinggi di negeri ini. Bagaimana mungkin sebuah bangsa akan maju jika anak dalam balada problematika yang tak berkesudahan?
Tak dimungkiri, upaya pemerintah dalam melindungi anak adalah usaha yang patut diapresiasi. Hanya saja, harus ada evaluasi harian terkait balada problematika anak yang bermunculan dan seakan tak ada penyelesaian. Meski HAN diperingati setiap tahun, problematika anak tak makin berkurang. Ada apa? Apakah sebatas seremoni?
Menelusuri Akar Masalah Balada Problematika Anak
“Tak ada asap jika tak ada api.” Peribahasa tersebut sangat cocok dengan potret kehidupan anak saat ini. Meski setiap tahun seremonial Hari Anak Nasional diperingati, tak lantas mengurangi berbagai kasus permasalahan anak. Tentu muncul pertanyaan “ada apa atau kenapa bisa terjadi dan terus meningkat?” Ada beberapa faktor balada problematika anak meningkat, antara lain:
Pertama, kehidupan keluarga yang tidak paham konsep pengasuhan dan pendidikan anak. Betapa banyak keluarga di negeri ini memiliki anak hanya sebagai penerus nasab saja atau dianggap sebagai pelanjut sebuah keluarga. Anak banyak pula yang terlantar pengasuhan dan pendidikannya karena ketidakpahaman orang tua akan hakikat keberadaan seorang anak dalam sebuah keluarga bahkan dalam suatu bangsa. Pengasuhan ala kadarnya, lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan jasmani saja, kerap dijumpai dalam kehidupan. Apalagi gaya hidup kekinian menjauhkan orang tua dari pola asuh dan pola didik yang bervisi panjang sampai kehidupan yang abadi.
Keluarga yang tidak paham pola asuh dan pola didik ini kemudian melahirkan anak yang cacat berpikir dan berperilaku. Dia terjun di dunia anak dengan pola asuh yang sama, sehingga akan membentuk sebuah kelompok bermain anak yang cacat pula. Pola pikir dan pola sikap anak tidak berada dalam koridor yang benar. Banyak di antara mereka yang “semau gue” dengan mengusung kebebasan sebagai gaya hidupnya.
Kedua, kontrol masyarakat yang sangat kurang, bahkan bisa dikatakan hilang sama sekali dalam kehidupan dewasa ini. Masyarakat seakan tutup mata dengan berbagai permasalahan yang menimpa anak. Hal terkecil terkait perilaku anak yang krisis akhlak cenderung dibiarkan dengan dalih “bukan anak sendiri atau sudah wajar terjadi saat ini.” Permasalahan lain seperti kriminal pun kadang ditolerir dengan alasan “masih anak-anak atau yang penting bukan anakku.” Urusan stunting tambah tidak peduli lagi karena masyarakat juga merasakan betapa beratnya memikirkan pemenuhan urusan dapur ini, jadi cenderung individualistik. Tidak berjalannya kontrol masyarakat justru membuat balada problematika anak kian meningkat.
Ketiga, peran negara dalam melindungi anak dan rakyat yang masih terkungkung sistem kapitalisme. Tak dapat dinafikkan, negara masih setia dengan gaya hidup kapitalistik dalam menerapkan aturan di segala aspek kehidupan. Di mana akidah sekularisme terus mewarnai pemerintahan, yakni pemisahan agama dari negara menjadi ciri khas bangsa ini. Walhasil, peran negara banyak dipangkas bahkan diceraikan dari riayah syuunil ummah (memelihara urusan rakyat), termasuk melindungi anak dan menjamin hak-haknya.
Negara sebatas regulator saat hadir di tengah rakyat. Bagaimana liberalisme menggerus akidah rakyat tampaknya dibiarkan mengalir sedemikian rupa sehingga kebebasan berembus tanpa batasan. Zina, pacaran, judi online, kriminalitas anak, dan permasalahan lainnya akhirnya tumbuh subur. Betapa juga sistem kapitalistik menjadikan negara tak memenuhi dan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, justru beban biaya hidup dibiarkan meroket dengan sejumlah tarif/iuran, pajak, dan harga kebutuhan yang menukik tajam. Sehingga banyak individu rakyat yang sibuk berjibaku untuk urusan nafkah, termasuk para ibu sehingga lalai dalam urusan pengasuhan dan pendidikan anak. Nahas, meski sudah berusaha keras, masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga anak stunting juga belum mampu diberi solusi tuntas.
Pendidikan dalam sistem kehidupan kapitalistik juga memiliki kurikulum yang serba tidak jelas. Pelajaran agama di lembaga pendidikan formal tak cukup membentengi anak dari kemaksiatan dan kejahatan. Bullying justru juga banyak terjadi di dunia pendidikan. Belum lagi biaya pendidikan yang kian tak terjangkau menghalangi seluruh anak di negeri ini mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara sistem sanksi saya terjadi kriminalitas pada anak, meski dia sudah balig, tetap hanya diberi sanksi sebagai anak di bawah umur. Beginilah kehidupan kapitalistik yang menjadikan problematika anak bak balada yang disenandungkan ke seantero negeri ini. Maka, akar permasalahan dari balada problematika anak adalah sistem kehidupan kapitalistik yang diemban oleh negara.
Mekanisme Islam dalam Menjaga Anak dari Balada Problematika Kehidupan
Setelah jelas apa akar masalah munculnya balada problematika anak, jelas pula apa dampak negatif jika ditangani secara parsial, maka solusi atas problematika anak adalah membuang dan mengganti sistem kehidupan yang kapitalistik ini. Seluruh elemen, mulai anggota keluarga, anggota masyarakat, hingga negara harus bekerja sama menyingkirkan budaya kapitalistik yang kental dengan liberalisme alias kebebasan di tengah umat, khususnya dunia anak. Tentu saja hal ini memerlukan mekanisme yang benar, mekanisme yang berasal dari Zat Yang Maha Benar, yakni sistem Islam. Mekanisme tersebut antara lain:
Pertama, Islam menetapkan negara sebagai instansi legal yang wajib menjelaskan kerusakan pemahaman kapitalisme dan derivasinya pada masyarakat. Bahwasanya kapitalisme berakidah sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini menjauhkan agama dari benak umat. Padahal, agama adalah pegangan hidup asasi yang akan menyelamatkan manusia dari segala kerusakan dan permasalahan. Sebagaimana firman Allah Taala,
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-A’raf: 52)
Negara akan memberikan edukasi yang komprehensif dan menyeluruh pada setiap keluarga. Keluarga harus menjadi tempat terpenting dalam mendidik dan mengasuh anak sebagai generasi masa depan. Peran ibu pun harus kembali pada syariat, yaitu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Negara akan menekankan bahwa kemuliaan dapat diraih oleh ibu yang bersungguh-sungguh dalam mengasuh anak-anaknya. Sementara itu, negara akan mendorong para ayah agar giat mencari nafkah dan berusaha menjadi teladan terdepan bagi anak-anaknya. Anak yang mendapatkan kasih sayang orang tuanya dan paham agama tidak akan membiarkan dirinya melakukan perbuatan nista dan maksiat, apa pun bentuknya.
Kedua, negara akan memberlakukan sistem pendidikan Islam yang akan menjauhkan generasi dari paham kapitalisme maupun liberalisme, yaitu dimulai dari menancapkan akidah pada peserta didik agar mereka tidak kehilangan jati diri. Sejak dini, anak-anak harus sadar tujuan hidupnya adalah untuk mencari rida Allah Taala. Negara akan membangun suasana keimanan dan ketakwaan di lingkungan pendidikan khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ketakwaan inilah yang dapat mengantarkan anak pada perilaku yang selalu terikat syariat. Anak akan berpikir sebelum bertindak, mampu membedakan antara perbuatan yang mengundang murka dan yang mendulang pahala.
Dengan pendidikan Islam, negara akan menjadi yang terdepan dalam menjaga umat —khususnya anak sebagai generasi muda—dari segala mara bahaya, termasuk bahaya bagi pemikirannya. Serangan pemikiran yang berasal dari kehidupan kapitalistik dengan menancapkan akidah sekularisme liberal adalah bahaya yang harus sesegera mungkin dilenyapkan dari dunia anak dan masyarakat. Dengan cara apa? Negara wajib menerapkan aturan Islam kaffah dalam sistem pemerintahan. Setiap kebijakan yang diambil tidak boleh menyelisihi apalagi menyimpang dari syariat Islam. Dalam pemerintahan Islam, negara wajib menegakkan sistem sanksi yang mampu menebus dosa dan menjerakan pelaku ataupun khalayak agar tak melakukan permasalahan yang sama.
Ketiga, negara akan menjaga dan mengontrol ketat budaya asing masuk lewat media yang kian canggih. Negara wajib menjaga suasana keimanan masyarakat dengan menerapkan kebijakan dan mengontrol media secara ketat. Hal ini agar anak sebagai generasi muda fokus menjalankan misinya menjadi hamba mulia, bermanfaat bagi sesamanya, dan bisa menjadi calon pemimpin peradaban mulia. Konten media hanya berisi syiar Islam dan ilmu pengetahuan. Kalaupun ada hiburan, sebatas hiburan yang menambah wawasan pengetahuan anak dan tidak menjerumuskan mereka pada kelalaian apalagi kemaksiatan. Sehingga anak sejak dini akan senantiasa mengisi hari-harinya dengan amal saleh yang akan mengantarkan pada tingginya peradaban. Wallahualam.