
Oleh: Yulia Fahira
Linimasanews.id—Sah, pemerintah kini membolehkan praktik aborsi bagi korban pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual. Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Selain bagi korban pemerkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual, aborsi dapat dilakukan bagi perempuan yang mempunyai indikasi kedaruratan medis. “Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana. SK No 226960 A,” bunyi Pasal 116 Peraturan Pemerintah tersebut (tribunnews.com, 31/7/2024).
Indikasi kedaruratan medis yang di maksud apabila kehamilan mengancam nyawa ibu dan bayi atau kondisi janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.
Langkah pemerintah yang menjadikan aborsi sebagai solusi bagi korban pemerkosaan, tentu bukanlah solusi yang tepat. Terlebih, dalam praktik aborsi sendiri akan banyak menimbulkan efek samping bagi pelaku, mulai dari gangguan psikis. Di antaranya, timbulnya rasa trauma, penyesalan, dan rasa bersalah akibat menghilangkan nyawa atau timbulnya masalah kesehatan adanya risiko pendarahan hingga kematian.
Jika ditelisik, maraknya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang terjadi adalah buah dari paham liberalisme yang dianut oleh negeri ini. Paham liberalisme memberikan kebebasan dalam hidup, baik kebebasan berpendapat, beragama, termasuk dalam pergaulan. Hal ini juga didukung dengan masifnya penyebaran konten pornografi di media sosial, baik dari film, iklan maupun game online yang dapat diakses dengan mudah oleh berbagai usia, termasuk anak-anak sehingga dapat memancing timbulnya naluri seksual sejak dini. Namun, pemerintah seolah tutup mata dengan fakta akar masalah ini.
Liberalisme sendiri lahir dari sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini membuat pemerintah kehilangan perannya sebagai junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Alhasil, tidak ada aturan yang mengatur interaksi pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, ada ketidakpahaman masyarakat dalam mengendalikan hawa nafsu. Ini membuat pergaulan generasi kian rusak dan melenceng.
Sejatinya, Islam adalah sistem yang dapat menjamin ketenteraman hidup dan mampu mengatur hubungan antara pria dan wanita, yaitu dengan penerapan sistem pergaulan Islam. Sistem pergaulan pria-wanita dalam Islam didasari oleh akidah Islam sebagai asas dan hukum-hukum syariah sebagai tolok-ukur, ditambah lagi menjadikan rida Allah sebagai tujuannya.
Islam mengatur hubungan lawan jenis dalam hal penyaluran naluri seksual dengan tujuan melestarikan keturunan, bukan sekadar pelampiasan hawa nafsu. Hal ini pun hanya boleh dilakukan dengan dua cara, yaitu menikah dan pemilikan hamba sahaya. Selain kedua cara itu, termasuk dosa besar. Islam juga memperbolehkan pria dan wanita berinteraksi/bekerja sama dalam kehidupan sehari-hari dalam 3 bidang, yaitu kesehatan, jual-beli, dan pendidikan.
Begitulah Islam dalam memperhatikan pergaulan lawan jenis sehingga menghasilkan generasi yang bermartabat dan gemilang.