
Oleh: Nining Ummu Hanif
Linimasanews.id—Baru-baru ini Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meresmikan operasional Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), Jawa Tengah pada Jumat, 26/7/2024. KIT Batang memilik lahan seluas 4.300 hektare (ha) yang nantinya akan dapat menampung industri dan pabrik-pabrik besar. Menurut Jokowi, KITB ditargetkan bisa membuka lapangan kerja untuk 250 ribu tenaga kerja.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Investasi atau Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa sudah ada 18 perusahaan yang masuk ke dalam KITB, yang menyerap kurang lebih 19 ribu pekerja dengan nilai investasi mencapai Rp14 triliun lebih (CNBCIndonesia, 26/7/24).
Pengelola KITB Direktur Utama Holding BUMN Danareksa, Yadi Jaya Ruchandi sangat optimis bahwa KITB akan dilirik oleh para investor asing karena memiliki sejumlah keunggulan, antara lain infrastruktur jalan kawasannya baik. Konektivitas darat, rel kereta api, maupun laut tersedia. Selain itu, KITB juga mengusung konsep green sustainable dan circular ekonomy yang membuat KITB jadi kawasan industri ramah lingkungan (metrotv.com, 28/7/24).
Kawasan Industri Terpadu Batang merupakan kawasan industri yang dirancang untuk menjadi pusat kegiatan industri dengan berbagai fasilitas penunjang yang lengkap. Dengan adanya dukungan dari pemerintah serta para pemangku kepentingan, KITB diharapkan dapat menjadi salah satu motor penggerak utama perekonomian Indonesia dan mengentaskan masalah ketenagakerjaan. Lantas, benarkah KITB bisa menjadi solusi masalah ekonomi dan pengangguran?
Jauh Panggang dari Api
KIT Batang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek serupa sudah banyak dibangun di beberapa wilayah Indonesia. Antara lain, proyek Rempang Eco City di Kepulauan Riau, proyek Bendungan Bener di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, proyek Kawasan Industri Petrokimia di Pasaman Barat, Sumbar, dan masih banyak lagi. Berbagai Proyek Strategi Nasional itu bertujuan untuk menarik sebanyak-banyaknya investor asing, dapat menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah dan nasional.
Namun, kenyataannya tidak sesuai yang diharapkan. Peningkatan kesejahteraan hanya ilusi belaka. Ketersediaan lapangan kerja nyatanya sebagian besar untuk warga asing. KIT Batang dibangun di daerah yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan dengan taraf pendidikan yang rendah. Sedangkan para investor asing pasti membutuhkan tenaga kerja siap pakai yang sesuai dengan kualifikasi perusahaan mereka.
Kesenjangan kompetensi tenaga kerja ini menjadi permasalahan bagi Pemkab Batang. Karena, masyarakat sekitar rata- rata tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan perusahaan. Meskipun Pemkab Batang menyiapkan sarana prasarana Balai Latihan Kerja (BLK), menggelar pelatihan untuk meningkatkan kompetensi calon tenga kerja dengan bekerja sama dengan perusahaan maupun stakeholder terkait, namun semua itu tetap tidak bisa menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai sesuai kualifikasi perusahaan.
Masyarakat sekitar KITB hanya berpeluang menjadi tenaga kasar seperti cleaning service, office boy, security, sopir, dan gardener. Sedangkan untuk staff, supervisor, apalagi manager, direkrut dari wilayah lain, bahkan kebanyakan tenaga asing yang sesuai dengan kualifikasi perusahaan. Atas nama investasi, pemerintah ‘menggelar karpet merah’ bagi investor.
Negara dengan sistem kapitalisme memang mengandalkan investasi asing karena tidak mempunyai modal untuk membiayai proyek pembangunan. Negara mengeluarkan regulasi, yaitu UU Cipta Kerja yang membuka investasi seluas-luasnya untuk membiayai pembangunan dengan kebijakannya lebih memihak pada investor. Misalnya, dengan kemudahan perizinan bagi para investor, ketersediaan lahan yang luas dan murah, SDM murah hingga pemutihan pajak. Semua kebijakan itu tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan atau masalah yang mungkin terjadi dengan masyarakat sekitar yang terdampak proyek.
Realitas kesejahteraan jauh panggang dari api. Jangankan perekonomian masyarakat membaik dan masalah pengangguran teratasi, sebaliknya menimbulkan masalah baru yang membebani rakyat. Misalnya, pencemaran lingkungan, banjir, dan pengaruh budaya yang dibawa para tenaga kerja asing.
Disadari atau tidak, sistem kapitalismelah yang menjadi sumber masalah di negeri ini. Sistem kapitalisme merupakan sistem buatan manusia yang menghilangkan kewajiban negara sebagai penjamin dan pengatur urusan rakyat.
Pembangunan dalam Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), pembangunan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Negara Islam menjamin agar semua kebutuhan pokok warganya terpenuhi, meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara memberi kemudahan akses agar terpenuhi juga kebutuhan sekunder masyarakat melalui sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam didasarkan pada prinsip-prinsip syariah atau hukum Islam. Tujuan ekonomi Islam adalah untuk menciptakan sistem ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan. Dengan sistem ekonomi Islam pembangunan pada sektor pertanian, perdagangan, industri, perkebunan ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat dan dibiayai oleh negara melalui Baitulmal yang memiliki sumber- sumber yang telah ditentukan oleh syarak. Sedangkan, sektor industri yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dikelola oleh negara, bukan diserahkan pengelolaannya kepada swasta apalagi investor asing.
Negara Islam akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara mandiri oleh negara. Dengan demikian, otomatis akan membuka lapangan kerja di banyak sektor. Mulai dari tenaga ahli hingga tenaga terampil. Ini sekaligus akan menghapuskan pengangguran.
Nyatanya, Islam adalah solusi yang tepat bagi segala problematika kehidupan. Segala aturannya bersumber dari Allah Swt., Sang Maha Pengatur. Sistem Islam bukan aturan buatan akal manusia yang terbatas.