
Oleh: Neti Ernawati
(Ibu Rumah Tangga)
Linimasanews.id—Baru-baru ini, kita dihebohkan dengan kabar vonis bebas yang diperoleh Ronald Tannur. Seperti diketahui, Ronald Tannur merupakan anak salah satu mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang pada bulan Oktober 2023 lalu terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian pada kekasihnya yang berinisial DSA (26). Oleh Jaksa penuntut Umum, Ronald sempat dituntut hukuman 12 tahun penjara. Namun apa daya, pengadilan Negeri Surabaya telah menetapkan vonis bebas untuk dirinya (jpnn.com, 28/7/24).
Sebelumnya, kita juga sempat dihebohkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang anak pegawai Dirjen Pajak beberapa waktu silam, juga kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak seorang anggota polisi di Medan. Tak pelak, kisah anak-anak ini menambah daftar antrean kasus anak pejabat yang bikin ulah. Hal itu mencoreng martabat orang tuanya selaku aparat negara.
Bukan suatu hal yang aneh, memiliki orang tua pejabat, cenderung menyebabkan anak pamer kekuasaan dan harta serta merasa hebat. Semua itu berawal dari pengalaman hidup yang diperoleh dari lingkup keluarga dan lingkungan, yang kemudian menjadi pola pikir, cara, dan gaya hidup. Pada akhirnya, pola pikir dan gaya hidup ini memengaruhi diri seseorang dalam memandang, bersikap, dan memperlakukan orang lain. Anak-anak pejabat ini seolah merasa menjadi bagian dari kelompok yang elite atau spesial, yang kemudian terdorong untuk membenarkan segala tindakan atau perilaku yang mereka lakukan.
Tindakan sok kuasa atau sewenang-wenang biasa muncul dari kesenjangan kekuasaan antara pelaku yang notabene anak pejabat dengan korban yang biasanya bukan dari kalangan keluarga pejabat. Pelaku yang merasa lebih dominan, merasa punya kuasa dan kendali atas diri korban sehingga bersikap semena-mena, tidak menghargai dan menghormati korban.
Miris, pejabat yang semestinya menjadi contoh dan panutan yang baik bagi rakyat, justru melahirkan generasi yang seolah arogan dan liar. Tidak sedikit pejabat yang terbukti anaknya terjerat kasus, justru berupaya meminimalkan vonis hukuman. Jual beli hukum pun makin marak dilakukan. Dengan cara yang benar atau dengan cara yang salah sekalipun. Intervensi hukum pun terjadi tanpa dihindari. Gayung bersambut, antarpejabat yang berkepentingan dengan aparat hukum yang mau disuap. Hukum pun diperjualbelikan dengan mudahnya.
Inilah kebobrokan sistem politik demokrasi, yang diperparah dengan kapitalisme dan sekulerismenya. Demokrasi terbukti menghasilkan politik dinasti dan regulasi yang syarat kepentingan oligarki. Kapitalisme dalam demokrasi syarat dengan politik kepentingan. Hingga kedaulatan hukum dapat diatur sekehendak penguasa. Sekularisme mengakibatkan nihilnya pendidikan moral hingga menciptakan arogansi anak pejabat dan pelanggaran amanah oleh aparatur negara.
Hukum sejatinya memberikan keadilan dan perlindungan pada rakyat. Perlindungan hukum tanpa pilih kasih meliputi segala kegiatan dalam menjamin dan melindungi rakyat beserta hak yang dimilikinya, dan memastikan rakyat mendapatkan perlindungan dari kezaliman dan diskriminasi. Bukan justru digunakan oleh penguasa, para pejabat, elite politik untuk mendapat keuntungan melalui praktik politik yang sering dianalogikan sebagai politik kotor.
Jauh berbeda dengan pandangan Islam tentang politik. Di dalam Islam, politik memiliki kedudukan yang mulia. Politik tidak sekadar dimaknai sebagai suatu kekuasaan, tetapi sebagai jalan untuk mewujudkan rahmat Islam bagi seluruh alam. Sistem politik Islam tegak berdasarkan atas iman Islam. Iman inilah yang menjadi patokan bahwa Allah Swt. adalah pemegang tertinggi kedaulatan yang tidak boleh dianulir oleh siapa pun. Penguasa dan rakyat memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai hamba Allah. Hukum yang dipakai adalah hukum Allah, sehingga tidak akan ada yang mampu membeli kedaulatan hukum.
Pada masa pemerintahan Islam, aturan pertama kali diterapkan kepada penguasa, kerabat penguasa baru kemudian kepada rakyat. Sehingga tidak akan ada diskriminasi hukum. Bahkan dalam Hadis Riwayat Bukhari nomor 6788, dan muslim nomor 1688, disebutkan bahwasanya Rasul sendiri yang akan memotong tangan Fatimah, apabila Fatimah terbukti melakukan pencurian.
Inilah keadilan hukum Allah. Penegakan keadilan bukan dikarenakan oleh hawa nafsu semata. Hukum diberlakukan secara adil bagi siapa pun tanpa terkecuali. Tidak ada yang diistimewakan atau pun dianaktirikan. Sistem sanksi Islam yang adil dan tegas, nantinya akan mampu memberikan efek jera sehingga dapat menghentikan kriminalitas.
Demikianlah sistem Islam mewujudkan tatanan politik dengan ketaatan hakiki. Ketika umat hidup dalam naungan politik Islam dan negara konsisten menerapkan hukum Islam. Terwujudnya keadilan dan kesejahteraan adalah suatu keniscayaan.