
Oleh: Maulida Nafeesa, M.Si. (Pemerhati Pendidikan)
Linimasanews.id—Viral video antrean anak-anak untuk cuci darah di rumah sakit. Diketahui, terapi cuci darah berkaitan dengan fungsi ginjal yang tidak sesuai (gagal ginjal). Masyarakat pun resah. Lonjakan kasus cuci darah pada anak sehingga dikaitkan dengan konsumsi obat serta makanan. Sebab, tahun lalu masyarakat diresahkan dengan kasus gagal ginjal yang signifikan akibat keracunan obat dengan kandungan Etilen Glikol (EG).
Saat ini disebutkan ada sekitar 60 anak yang menjalani terapi pengganti ginjal di RSCM. Sebanyak 30 di antaranya menjalani hemodialisis rutin sementara lainnya datang sebulan sekali. Terbanyak kasus penyakit ginjal pada anak dipicu sindrom nefrotik, kelainan bawaan berupa bentuk ginjal yang tak normal dan ada juga yang mengalami kista ginjal (health.detik.com, 27/7/2024).
Makanan Instan
Gaya hidup generasi saat ini semua serba instan. Makanan dan minuman cepat saji sudah dipastikan banyaknya kandungan kimia, pemanis buatan, dan pengawet. Pemberitaan investigasi juga mengungkap banyak makanan anak-anak yang mengandung pewarna sintetis, pengawet untuk hewan, air yang tidak bersih, dan lainnya.
Ditambah lagi, pola hidup yang tidak sehat terjadi, mulai dari polusi, tidak pernah berolahraga, kurangnya istirahat, konsumsi rokok, dll. Faktor kebiasaan dan lingkungan ini terjadi dalam proses yang panjang. Dampaknya, berbagai penyakit terjadi pada individu hingga mempengaruhi faktor genetik pada kelahiran keturunan berikutnya (penyakit bawaan).
Sistem Ekonomi Kapitalis
Bisnis makanan memang tidak pernah sepi peminat. Berbagai makanan instan yang disukai anak muda sudah banyak di berbagai tempat, baik sekolah, kampus, perkantoran, mall, bahkan di rumah sakit dan masjid. Para pelaku industri di sistem kapitalis ini tentunya akan lebih mementingkan profit dan keuntungan yang besar, selama produk yang dijual banyak peminat, meskipun harus mengabaikan aspek kesehatan dan kemanan.
Tidak kalah miris, Laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga menjelaskan, terjadi peningkatan diabetes melitus tipe 1 pada anak di bawah 18 tahun sebesar 70 kali lipat dari 2010 hingga 2023. Kota Jakarta dan Surabaya menjadi penyumbang terbesar kasus diabetes melitus dengan prevalensi terbesar pada anak usia 10—14 tahun (46,23%), diikuti usia 5—9 tahun (31,05%), dan usia 0—4 tahun (19%).
Fakta jumlah kasus diabetes pada anak juga menunjukkan lemahnya regulasi pemerintah dalam keamanan pangan. Berbagai program memang sudah dibuat pemerintah, seperti promosi gaya hidup sehat melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), cukai pada minuman manis, regulasi terkait label gizi pada makanan kemasan, pembatasan iklan makanan tinggi gula, dan regulasi mengenai kandungan gula, garam, dan lemak dalam produk makanan.
Namun, apakah kebijakan ini memberikan pengaruh besar bagi pola makan dan gaya hidup masyarakat? Realitasnya, semua regulasi melemah seiring dengan profit cuan pada bisnis makanan dan minuman.
Islam Menjamin Keamanan Pangan
Dalam Islam, setiap individu diperintahkan untuk makan makanan dan minuman yang halal dan tayib, serta menjauhi langkah-langkah setan yang mampu membuatnya lalai dalam menjalankan perintah Allah. Halal dan thayyib yang dimaksud ialah makanan yang tidak membahayakan, yang suci, tidak najis, dan segala sesuatu yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan. Demikian kata Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi mudarris tafsir di Masjid Nabawi dalam Aisarut Tafasir.
Rasulullah saw. bersabda, “Ukuran perut anak Adam adalah cukup beberapa suap saja sampai dia bisa menegakkan tulang punggungnya.” [HR Ibnu Majah]
Islam mengajarkan untuk makan secukupnya, tidak serakah ataupun berlebihan karena menuruti hawa nafsu. Makan secukupnya untuk menegakkan tulang punggung maksudnya ialah agar individu bisa beribadah khusyuk di hadapan Allah. Islam juga menjadikan standar kebahagiaan individu pada rida Allah.
Di samping itu, tujuan hidup manusia ialah untuk senantiasa beribadah kepada Allah. Dalam hal ini, termasuk juga perhatian terhadap apa saja yang masuk ke dalam perut. Makanan halal dan tayib yang masuk ke dalam perut akan dimetabolisme oleh tubuh. Kemudian, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan nutrisi lainnya akan disebarkan ke seluruh tubuh melalui darah, sehingga isi perut yang berlebihan akan mempengaruhi kualitas ibadah seseorang.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah).
Ulama Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata, “Saya tidak pernah kenyang sejak 16 tahun, kecuali sekali saja saya kenyang lalu saya muntahkan, karena kenyang memberatkan badan, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan kantuk, melemahkan orang dari ibadah.”
Dalam hal ini Islam memandang, pengontrolan makanan bukan hanya tugas individu ataupun orang tua. Sebab, lingkungan mampu berpengaruh besar pada gaya hidup dan pola makan seseorang. Maka, negara punya peran penting dan utama dalam hal ini melalui kebijakannya.
Mengutip MNews (31/07/24), di antara peran negara tersebut: Pertama, menjamin kesejahteraan warga dengan kemudahan mengakses kebutuhan pangan yang aman dan sehat. Kedua, mengatur regulasi untuk industri makanan dan minuman agar sesuai ketentuan makanan halal dan tayib.
Ketiga, melakukan edukasi secara holistik melalui lembaga layanan kesehatan, media massa, dan berbagai tayangan edukatif menarik. Keempat, memberikan layanan kesehatan secara gratis kepada seluruh rakyat, seperti deteksi dini penyakit, cek kesehatan secara berkala (cek gula darah, kolesterol, asam urat, kecukupan gizi, dll.). Kelima, menindak tegas pelaku industri dan siapa saja yang menyalahi ketentuan peredaran makanan dan minuman halal dan tayib. Keenam, menerapkan sistem pendidikan yang kolaboratif dan integratif dengan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, khususnya materi pola hidup sehat dalam mata pelajaran penjaskes.