
Oleh: Fathimah A.S. (Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.id—Ronald Tannur, terdakwa kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Sontak putusan tersebut membuat publik riuh. Pasalnya, majelis hakim menilai Ronald tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah. Padahal, bukti berupa rangkaian perlakuan terdakwa, yaitu rekaman CCTV dan hasil visum korban telah disajikan dalam persidangan.
Merespons putusan itu, pihak keluarga korban berupaya mencari keadilan dengan melaporkan kasus ini ke Mahkamah Agung (MA). Tak hanya itu, ratusan orang yang tergabung dalam masyarakat Aliansi Madura Indonesia juga turut menggelar aksi di depan Gedung Pengadilan Negeri Surabaya, menuntut keadilan atas kejanggalan putusan bebas Ronald. Setelah menerima audiensi dari keluarga Dini, Wakil Ketua III DPR mengkritisi putusan ini, mendesak MA dan Komisi Yudisial (KY) untuk menindaklanjuti kejanggalan vonis tersebut (metrotvnews.com, 31/7/2024).
Tak Ada Sanksi yang Memberi Efek Jera
Bila kita kritisi, sudah tentu kasus Ronald tidak dapat dibiarkan seperti ini saja. Perbuatan menghilangkan nyawa manusia, jelas-jelas tak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya indikasi penganiayaan terhadap korban, tentu harus diusut sampai tuntas.
Namun, sungguh miris, kasus bebasnya pelaku kriminal seperti ini bukanlah yang pertama. Ketika suatu kasus melibatkan pihak berpunya atau berkuasa, sering kali cepat-cepat ditutup atau sanksi begitu minimal. Sementara, sebaliknya, jika melibatkan rakyat yang tak memiliki apa-apa, jangankan mendapat keadilan, sering kali sanksi yang diperoleh begitu maksimal.
Berulangnya kasus semacam ini, menjadi bukti bahwa sanksi hari ini tidak mampu memberikan efek jera. Bahkan sebaliknya, ketidaktegasan sanksi justru menyebabkan merajalelanya kasus kriminal. Hal ini makin menegaskan lemahnya hukum buatan akal manusia.
Rawan terjadi jual beli kepentingan sudah menjadi rahasia umum dalam sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menjadikan harta sebagai pemutus segala perkara, termasuk pemulus hukum. Tak pelak, sering kali terdengar “hukum bisa dibeli”. Dengan kata lain, “lu punya duit, lu punya kuasa”. Demikianlah yang terjadi ketika manusia diberi wewenang dalam memberi putusan hukum. Bukanlah keadilan yang tercipta, melainkan kezaliman yang terasa. Karena, sifat dasar manusia adalah lemah, terbatas, dan sering terjebak dalam konflik kepentingan.
Sanksi Islam Tegas dan Memberi Efek Jera
Sungguh, inilah kebutuhan kita pada aturan bersumber dari Zat Yang Maha Mengetahui atas manusia, Maha Adil, Maha Kuasa, dan tidak memiliki kepentingan atas manusia. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia sekaligus aturan kehidupan manusia. Ketika aturan ini diterapkan, maka keadilan akan dapat dirasakan umat manusia.
Dalam Islam, kedaulatan (yang berhak membuat hukum) ada di tangan syarak. Hal ini tentu menghapuskan segala bentuk jual beli kepentingan manusia, termasuk jual beli hukum. Sebab, sistem peradilan Islam dibangun atas asas akidah Islam, yaitu keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga tidak ada yang akan berani mengutak-atik hukum dari Allah.
Islam telah menentukan bahwa kriminal adalah pelanggaran terhadap aturan syarak. Maka, seandainya ada yang melakukan tindak kriminal, berarti ia sedang melakukan maksiat kepada Allah dan berhak untuk mendapatkan sanksi yang juga bersumber dari Allah. Islam memandang sanksi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Dengan demikian, sanksi Islam mampu memberikan efek jera kepada pelaku dan seluruh masyarakat, serta menjadi penebus dosa sehingga dia tidak akan dihisab di akhirat kelak.
Islam mengategorikan kasus pembunuhan di atas sebagai jinayat. Sebab, pelakunya sudah melakukan penganiayaan terhadap badan atau jiwa. Pelakunya berhak untuk diberi sanksi berupa qisas, yaitu hukuman badan atau harta. Lebih lanjut, perlu dirinci apakah termasuk pembunuhan disengaja atau pembunuhan tidak disengaja. Islam telah memiliki mekanisme yang jelas akan hal ini.
Islam juga telah memiliki mekanisme detail dalam pembuktian kasus pembunuhan. Jika terbukti bahwa ia adalah pelaku pembunuhan, maka akan ada sanksi yang tegas. Bila korban memilih untuk hukuman harta, maka pelaku wajib memberikan diyat dengan jumlah yang tidak sedikit. Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah! Diyat untuk pembunuhan tidak disengaja yang tampak disengaja, seperti dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah 100 unta, 40 ekor diantaranya sedang hamil.” (HR Abu Dawud).
Dalam hadits riwayat An-Nasa’i dijelaskan bahwa diyat tersebut senilai dengan 1.000 dinar atau 12.000 dirham. Dengan kurs emas hari ini, kurang lebih sekitar 6,069 miliar rupiah. Sungguh, dengan sanksi seperti ini akan menciptakan keadilan bagi korban.
Sepanjang sejarah, Daulah Islam atau Khilafah Islamiyah adalah penjaga terlaksananya penerapan syariat Islam, mulai dari upaya pencegahan dengan pendidikan Islam, hadirnya penguasa dan penegak hukum yang amanah, hingga penyelenggaraan peradilan Islam. Ketika Islam diterapkan dalam kehidupan, keadilan dapat dirasakan seluruh elemen masyarakat, baik muslim maupun non-muslim, si kaya maupun si miskin.