
Oleh: Rini Rahayu (Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)
Linimasanews.id—Hari Anak Nasional belum lama ini diperingati dengan mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Salah satu sub temanya adalah “Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja Anak dan Stunting”. Penjabaran dari subtema tersebut adalah mengupayakan lingkungan yang bebas dari kekerasan, perkawinan anak, pekerja anak dan stunting. Yaitu, dengan membangun komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat dan keluarga untuk memastikan hak anak terpenuhi, sehingga anak tumbuh dengan sehat dan mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi (detiknews.com 12/07/2024).
Namun, peringatan ini hanya sebatas seremonial saja. Dari tahun ke tahun nyatanya tidak ada perubahan bermakna dalam permasalahan yang dialami anak, bahkan justru masalah kekerasan terhadap anak ini semakin bertambah. Seperti yang terjadi belum lama ini. Meita Irianty seorang pemilik daycare di Depok, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan terhadap bayi dan balita di daycare miliknya (Nakita.id 3/08/2024).
Polisi berhasil mengungkap motif yang bersangkutan melakukan penganiayaan terhadap bayi dan balita yang dititipkan di daycare miliknya adalah karena khilaf. Lalu, apakah cukup hanya dengan mengetahui motif saja masalah ini selesai?
Dalam kehidupan sekuler kapitalisme, kasus kekerasan pada anak bukan peristiwa baru. Kasus ini terus saja berulang, dengan kasus yang sama hanya motif dan pelakunya berbeda. Lalu, apa yang menyebabkan kejadian ini terus saja berulang?
Sekularisme Kapitalisme Pemicu Kekerasan
Ada beberapa penyebab maraknya kekerasan pada anak. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mengidentifikasi setidaknya ada tujuh penyebab, di antaranya budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orang tua, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan, kurangnya kesadaran melaporkan tindakan kekerasan terhadap anak, serta merosotnya moral.
Selain dari tujuh sebab yang dikemukakan KPAI, faktor yang utama penyebab kekerasan pada anak terjadi sesungguhnya ialah sistem yang dianut sekarang ini, yaitu sistem sekularisme kapitalisme. Sistem ini tidak menjadikan Islam sebagai standar dan dasar dalam mendidik. Sistem ini menjadikan perolehan materi dan kesuksesan duniawi sebagai dasar kehidupan. Akibatnya, lahir kepribadian yang jauh dari ketakwaan dan mengesampingkan halal haram.
Terkikisnya pemahaman Islam dalam sistem sekularisme, membuat peran ayah dan ibu menjauh dari fitrahnya. Ibu yang seharusnya sebagai madrasatul ula (sekolah pertama dan utama) dan ummu warabatul bait (pengatur rumah tangga), harus ikut bekerja meninggalkan rumah dan anak-anaknya. Pekerjaan yang ditawarkan pun lebih banyak untuk perempuan. Sedangkan, ayah sebagai kepala keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan semua anggota keluarganya karena terbatasnya lapangan kerja dan sulitnya mencari kerja.
Dengan ayah dan ibu bekerja, maka anak terpaksa harus dititipkan kepada orang lain. Dalam sistem kapitalisme, tentu hal ini dijadikan peluang menghasilkan uang. Oleh karena itu, banyak berdiri daycare atau tempat penitipan anak.
Dalam sistem kapitalisme, para pemilik usaha daycare ini tentu saja akan mencari keuntungan dan menjadikan anak-anak yang dititipkan sebagai sumber penghasilan. Jadi, tidak heran dalam pengasuhannya tidak memakai hati (don’t care). Mereka mengasuh anak-anak tidak berdasarkan ketakwaan kepada Allah. Ini memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap anak asuhnya.
Dalam sekularisme, amar makruf nahi mungkar ditiadakan. Sekularisme membuat negara tidak berperan dalam melindungi anak dari berbagai kejahatan dan kekerasan.
Perlindungan Anak dalam Islam
Islam memandang anak sebagai aset berharga sebuah bangsa. Mereka adalah generasi masa depan yang akan membangun peradaban manusia di masa mendatang. Sukses tidaknya sebuah peradaban bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Lalu, apa jadinya jika generasi penerus kita menjadi pelaku atau korban kekerasan?
Perlindungan terhadap anak dalam Islam tidak hanya fisik, tetapi juga psikologisnya. Keluarga sebagai pihak yang paling dekat dengan anak tentu saja memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Ayah dan ibu harus bekerja sama dalam mendidik, mengasuh dan mencukupi kebutuhannya. Ayah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan ibu yang mengatur dan menjaga anak-anaknya. Semua fungsi itu dijalankan dengan berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Selain keluarga, lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengontrol perilaku anak, melindunginya dari kejahatan dan kekerasan. Dengan menerapkan sistem Islam, maka masyarakat terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun. Budaya amar makruf inilah yang tidak ada dalam sistem sekuler kapitalisme.
Selain itu, tidak kalah penting adalah peran negara dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak. Karena, negara memiliki peranan kunci dalam menerapkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi.
Negara yang menerapkan sistem Islam akan menerapkan sanksi tegas yang membuat jera pelakunya. Dengan begitu, orang lain akan takut berbuat kekerasan atau kejahatan, apalagi sampai melakukannya berulang kali. Karena itu, hanya dalam sistem Islam (khilafah) penerapan Islam secara menyeluruh ini dapat diwujudkan.