
Oleh: Susi Ummu Umar
Linimasanews.id—Pemerintah berencana mengenakan cukai terhadap tiket konser hingga produk sabun pencuci pakaian atau detergen. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mempertimbangkan setidaknya delapan barang untuk dimasukkan dalam produk kena cukai, seperti rumah, makanan cepat saji, detergen, tiket konser, tisu, telepon pintar, monosodium glutamate (MSG) alias penguat rasa, hingga batu bara (Asumsi.co, 26/7/2024).
Direktur Teknis dan Fasilitas DJBC, Iyan Rubianto menjelaskan bahwa barang-barang tersebut diusulkan sebagai barang kena cukai karena berpotensi memberikan nilai tambah, terutama tiket hiburan karena minat masyarakat terhadap hal itu cukup besar. Kendati begitu, menurut Iyan harus dikaji secara mendalam. Sebab jika tidak, maka akan menimbulkan gejolak di tengah publik.
Sementara negara di Asia Tenggara, lain seperti Thailand, menurut Iyan, memiliki 21 barang kena cukai (BKC), seperti minuman keras (miras), tembakau, tekstil, motor, kaca, baterai, minyak, minuman, judi, hingga hiburan. Di Brunei Darussalam misalnya, memiliki 21 BKC, seperti tembakau, fotografi, plastik, kulit, kimia organik, resin, bahan peledak, serta logam mulia.
Kendati demikian, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC, Nirwala Dwi Heriyanto mengatakan belum ada kajian terhadap rencana itu. Sejauh ini pengenaan cukai terhadap barang-barang tersebut baru bersifat usulan.
Cukai dalam Sistem Khilafah
Adakah bea cukai dalam syariat Islam? Kalaupun ada, bagaimana praktiknya? Adakah contoh pada masa Khilafah Islam? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan menarik karena secara faktual, situasi dan kondisi sekarang sangat tidak mungkin jika sebuah negara bisa berdiri sendiri tanpa bantuan atau peran dari negara lain.
Tidak bisa dimungkiri, sumber daya alam dan teknologi yang berkembang pada masing-masing negara sangat berbeda satu sama lain. Alhasil, produksi barang dan jasa pada masing-masing negara akan berbeda-beda. Wajar jika saat ini ada negara yang menjadi lumbung pertanian, tetapi miskin barang dan jasa yang berkait erat dengan teknologi.
Ada juga negara yang karena industrinya berkembang cepat, membutuhkan banyak bahan mentah energi yang itu ada di negara yang lain. Masih banyak lagi contoh bahwa sebuah negara pada akhirnya membutuhkan negara lain dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasanya. Jadi, pertukaran barang dan jasa antarnegara saat ini menjadi hal yang tidak bisa terelakkan. Masing-masing saling membutuhkan.
Pertanyaan pentingnya adalah dengan siapa akan melakukan pertukaran ini? Bagaimana mekanismenya? Apakah pertukaran ini mensyaratkan menampakkan daya tawar tinggi atau kemuliaan diri ataukah justru sebaliknya, di bawah tekanan negara lain? Ini semua ternyata dijawab dengan jelas dan gamblang oleh syariat Islam. Bahkan, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan contoh riil dalam pemberlakuan bea cukai ini.
Dr. Muhammad Ash-Shalabi menuturkan bahwa pemberlakuan cukai untuk barang-barang ekspor dan impor zaman Khalifah Umar telah diterapkan. Nama petugas penarik cukai adalah Al-‘Asyir. Pajak model ini belum ada pada masa Nabi Muhammad saw. dan Khalifah pertama Abu Bakar. Masa tersebut adalah masa penyebaran dakwah, jihad di jalan Allah, dan proses pendirian Negara Islam.
Pada masa Umar bin Khaththab, wilayah negara Islam makin bertambah luas ke arah barat maupun ke arah timur. Pertukaran barang Negara Khilafah dengan yang lain adalah merupakan suatu tuntutan. Hal ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Khalifah Umar bin Khaththab memiliki ide untuk menerapkan pajak atas barang yang masuk ke Negara Islam, sebagaimana halnya negara-negara non-Islam menerapkan pajak terhadap para pedagang Islam yang datang ke tempat mereka. Tujuan lain dari Khalifah Umar adaIah untuk melakukan perlakuan yang sama.
Para ahli sejarah sepakat bahwa Khalifah Umar adalah khalifah yang pertama menerapkan pajak 10% atas barang-barang impor. Kisahnya bermula ketika orang-orang Manbaj (sebuah wilayah yang terletak di belakang Laut Aden) mengirim surat kepada Khalifah Umar yang berisi keinginan mereka untuk membawa harta perniagaan ke Negara Islam. Mereka bersedia membayar pajak sebesar 10 kepada Negara Islam. Setelah menerima surat tersebut, Khalifah Umar al-Faruq kemudian bermusyawarah dengan para Sahabat Nabi Muhammad (saw.). Mereka menyetujui keinginan para saudagar Manbaj tersebut.
Sebelum menentukan besaran cukai, Al-Faruq terlebih dahulu ingin mengetahui seberapa besar negara non-lslam dalam mengambil cukai dari para pedagang muslim yang masuk ke wilayah mereka. Khalifah bertanya kepada para saudagar muslim yang mendatangi negara Etiopia tentang berapa banyak negara tersebut mengambil pajak dari mereka. Mereka menjawab, “Mereka mengambil 10 dari dagangan kami.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menyuruh kepada para pegawainya untuk menarik pajak 10% dari barang dagangannya nonmuslim.
Khalifah Umar juga bertanya kepada Utsman bin Hanif, “Berapa banyak orang kafir harbi mengambil dagangan jika kalian sampai ke negara mereka?” Jawabnya, “10%.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menginstruksikan kepada para pejabatnya untuk menarik pajak 10% atas barang dagangannya nonmuslim.
Dari yang terjadi di atas, tampak bahwa terjadi ijmak sahabat (kesepakatan sahabat) tentang siapa pihak yang dikenai bea cukai dan besarannya. Walau keputusan tentang pungutan bea cukai diambil oleh Khalifah Umar, sebelum pengambilan keputusan sudah dimusyawarahkan terlebih dulu dengan para sahabat yang lain. Ketika diputuskan, tidak ada satu pun sahabat yang menolak keputusan Khalifah Umar atau yang mendiamkan. Kita tahu bahwa salah satu karakter dari sahabat adalah ketika ada kemungkaran, maka akan langsung mengoreksinya. Apalagi sampai melanggar syariat Islam.
Kondisi ini menjadi dalil bahwa pungutan bea cukai telah menjadi ijmak sahabat. Ijmak Sahabat atas bea cukai hanya dikenakan kepada negara kafir yang juga mengenakan cukai ke pedagang muslim ketika akan berdagang ke negeri kafir tersebut. Besaran cukai pun akan disamakan dengan besaran cukai yang dikenakan kepada pedagang muslim.
Untuk memastikan pelaksanaan kebijakan penerapan bea cukai kepada pedagang dari negara kafir, Khalifah Umar membentuk bagian khusus bahkan mengangkat pegawai khusus. Petugas ini biasanya menjadi satu dengan petugas penarik zakat, jizyah, dan kharajiyah. Khalifah Umar mengangkat pegawai penarik pajak cukai 10% sekaligus mengambil zakat dari para pedagang jika mencapai nisab dan genap satu tahun.
Dari paparan di atas, bisa diambil patokan jika nantinya Khilafah berdiri dan melakukan perdagangan dengan negara-negara kafir, maka akan diberlakukan hal yang sama. Khilafah akan menerapkan pajak atas dagangan mereka yang masuk ke Negara Islam sebesar pajak yang mereka ambil dari pedagang Islam. Jika melakukan sebaliknya, yakni menghapuskan pajak, Khilafah juga akan melakukan hal yang sama, yakni menghapus pajak.
Khalifah Umar pernah menginstruksikan kepada para pegawainya untuk mengambil pajak sebesar 5% kepada orang-orang kafir harbi yang membawa minyak dan biji-bijian ke Hijaz. Dalam keadaan tertentu bahkan beliau menginstruksikan kepada para pegawainya untuk membebaskan pajak sama sekali kepada mereka.
Diriwayatkan oleh Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya bahwa Khalifah Umar menerapkan pajak 10% terhadap pakaian katun dan 5% terhadap gandum dan minyak dengan tujuan memperbanyak masukan barang-barang tersebut.
Peraturan-peraturan yang dibuat oleh Khalifah Umar ini sangat bermanfaat dalam mempermudah proses pertukaran barang antara orang-orang Islam dengan nonmuslim. Banyak sekali barang-barang seperti kebutuhan pokok yang akhirnya masuk ke negara Islam.