
Oleh: Eni Yulika
Linimasanews.id—Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem akan membentuk lingkungan yang seimbang dan memberikan hal yang positif kepada kehidupan di bumi. Jika ekosistem rusak maka akan terjadi ketidakseimbangan alam di bumi. Hal itu dapat berakibat fatal bagi manusia sebagai makhluk berakal.
Kasus berulang terjadi di wilayah Sumatra Utara. Seperti yang dikutip dari Tribun.com (9/08/24), perdagangan gelap sisik trenggiling di Tanjung Balai, Sumatra Utara diungkap Subdirektorat tindak pidana tertentu (Subdit Tipidter) Ditreskrimsus Polda Sumut. Barang bukti sisik trenggiling seberat 987,22 kilogram turut disita dari para pelaku. Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi mengatakan, “Sisik trenggiling ini sudah dimasukkan ke dalam 18 karung diduga akan segera dijual. Barang bukti yang diamankan yaitu 18 karung berisi sisik satwa trenggiling seberat 987,22 Kilogram.”
Polisi menjelaskan, pengungkapan ini bermula adanya informasi jual beli sisik trenggiling yang diterima polisi. Kemudian penyidik di bawah kepemimpinan Kasubdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Sumut, Kompol Fathir Mustafa melakukan penyelidikan dan menemukan sebuah rumah di Jalan Cermai, Pasar VIII, Kelurahan Sijambi, Kecamatan Datuk Bandar, Kota Tanjung Balai.
Selain menyita 987,22 kilogram sisik trenggiling, Polisi turut menangkap AR alias Dedek sebagai pemilik sisik sekaligus pengepul. Kemudian, Polisi juga menangkap RHD alias Ame, sebagai orang yang mencari pembeli dan menawarkan sisik melalui media sosial.
Trenggiling yang ada di negeri ini kebanyakan adalah jenis trenggiling sunda. Trenggiling Sunda (Sunda pangolin/Manis Javanica) merupakan jenis yang ada di Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Ada juga sedikit populasi di pulau kecil, seperti Pulau Bangka, Belitung, dan Nias. Pulau Bali dilaporkan juga sebagai wilayah persebaran trenggiling walaupun kesahihannya masih perlu dibuktikan.
Trenggiling menghuni hutan alam primer dan sekunder. Mereka menyukai wilayah yang cenderung lembap, kaya akan serasah dan pohon lapuk. Mamalia pemakan semut dan tak bergigi ini juga mampu hidup di kebun sawit, tetapi menjadi petaka karena trenggiling makin mudah diburu dan diangkut.
Status trenggiling adalah hewan terancam punah sehingga hewan ini harus dilindungi dan tidak boleh diperjualbelikan. Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Terancam (CITES) memasukkan semua jenis trenggiling ke dalam Appendix I. Artinya, perdagangan antarnegara secara langsung dari alam dilarang. Perdagangan hanya dapat dilakukan lewat hasil penangkaran terdaftar di Sekretariat CITES.
Menurut dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Teguh bahwa, dalam etnis tertentu (China) mempercayai mitos bahwa daging trenggiling bisa untuk obat. Harga daging trenggiling di pasar lokal sekitar Rp500 ribu. Namun di pasar internasional, contohnya Tiongkok dan Taiwan, harganya mencapai Rp1,9 juta, biasanya untuk dibuat sup. “Artinya dari harga saja sangat menggiurkan,” ungkapnya.
Kemudian sisik trenggiling merupakan salah satu bahan untuk pembuatan narkoba jenis sabu sabu. Salah satu penyebab trenggiling banyak diburu secara ilegal kerena menjadi bahan baku utama (sisik) pembuatan sabu-sabu.
Bagian trenggiling lainnya yakni tulang yang kabarnya bisa untuk obat. “Jadi hampir semua bagian tubuh trenggiling mitosnya bermanfaat untuk kesehatan.”
Semua jenis trenggiling memiliki beragam status konservasi, antara lain vulnerable (rentan) dan critically endangered (kritis terancam), bergantung pada jenisnya. Khusus trenggiling Sunda, statusnya adalah critically endangered alias satu langkah lagi menuju kategori extinct in the wild (punah di alam). Selama 1998-2019, populasi trenggiling Sunda diperkirakan anjlok hingga 80 persen (Majalah Tempo).
Dari sekelumit fakta tentang trenggiling menyadarkan bahwa, masalah di negeri ini sungguh kompleks. Bukan hanya manusia yang memiliki masalah kompleks, tetapi juga hewan yang memiliki nasib tak baik. Banyak hewan hanya sekadar hidup sudah terancam, baik dari sisi tempat tinggal ataupun bertahan hidup.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti, di antaranya adalah:
1. Gaya hidup masyarakat yang masih saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
2. Ruang hidup hewan yang terus terusik bahkan kehidupannya pun terancam punah karena perburuan besar-besaran.
3. Ketidaktegasan dan ketidakseriusan dalam menjaga ekosistem di bumi.
Beberapa poin di atas menjadi permasalahan yang kompleks dan akhirnya membuat masyarakat menghalalkan segala cara bahkan merusak populasi trenggiling yang statusnya dilindungi. Akhirnya, sudahlah hutan makin lama makin berkurang, ditambah hewan yang sudah berkurang habitat juga terancam diburu oleh para pemburu yang memburu keuntungan semata.
Ditambah lagi ketidaktegasan dan ketidakseriusan pihak berwenang untuk menjaga ekosistem yang ada. Pihak berwenang yang seharusnya menjadi perisai untuk menjaga kehidupan di bumi bahkan menjadi pihak yang membuka pintu eksploitasi besar-besaran yang merusak. Ini mengakibatkan kerusakan yang parah dan berakibat fatal bagi manusia dan juga hewan di dalamnya.
Semua ini dikarenakan sistem kehidupan yang tidak berpihak kepada kaum yang lemah, termasuk hewan yang tidak mengganggu manusia pun, makhluk yang lemah yang hanya memakan semut-semut kecil di hutan pun harus bersembunyi dari kejamnya kehidupan. Inilah sistem buatan manusia yang hanya membuat manusia mengejar bisnis untung dan rugi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang memang berasal dari Sang Pencipta yang telah menciptakan manusia, alam, dan hewan. Pastilah akan memihak dan tidak menzalimi ekosistem. Sifat tamak manusia bisa terkendali dalam sistem Islam. Salam sistem Islam, merusak alam dan isinya itu dilarang. Alam boleh dimanfaatkan, tetapi bukan untuk merusak seperti yang terjadi hari ini. Akan ada sanksi yang tegas jika merusak alam.
Patutlah kita mengingat pesan Sang Pencipta dalam surah Al-Qashas ayat 77 yang berbunyi, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan (di muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Oleh karena itu, hanya Islam yang mampu menghentikan kerusakan ini dan manusia tidak ada pilihan lain kecuali hanya untuk taat kepada aturan Allah. Kalau tidak bencana akan hadir, baik di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishshawwab.