
Oleh: Devy Wulansari, S.Pd.
(Aktivis Muslimah Malang)
Linimasanews.id—Adalah satu dari tujuh agenda pembangunan dalam RPJMN 2020-2024 adalah mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan. Komitmen pemerataan pembangunan antarwilayah di antaranya tertuang dalam kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Pembangunan desa diklaim dapat memeratakan pembangunan dan menghapus kesenjangan masyarakat desa.
Namun sayang, realitanya tidak demikian. Hingga hari ini, masih banyak penduduk miskin di desa dan masih banyak desa tertinggal. Maraknya urbanisasi terlebih paska lebaran membuktikan adanya kesenjangan tersebut.
Terlebih dalam sistem hari ini, maraknya korupsi bahkan oleh pejabat desa, menjadikan pemerataan ini hanya ilusi. Misalnya Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, menahan Kepala Desa Surorejan, Kecamatan Puring, inisial NN (36), sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana desa tahun anggaran 2022 serta penyalahgunaan dana Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2022. Kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara Rp290 Juta dilaporkan warga pada Juli 2024 (Kompas.com, 9/8/2024).
Menelaah Akar Masalah
Ada sejumlah catatan kritis perihal pembangunan desa yaitu:
– Desentralisasi pemerintah dan liberalisasi swasta. Pemerintah pusat memberikan kebebasan pada perangkat desa untuk mengembangkan desa masing-masing. Ini berarti beban negara sebagai pengurus dan pelayan kepentingan rakyat secara praktis akan berkurang. Setiap desa bisa mengambil kebijakan untuk desanya. Akan ada celah pihak swasta memanfaatkan desa sebagai target eksploitasi mereka yang berarti pintu liberalisasi desa akan terbuka.
Masalah desa seperti pendidikan, kesehatan, air bersih susah diakses, sanitasi, sebenarnya membutuhkan tangan negara dalam pembiayaan dan pemenuhannya. Negara sebenarnya harus membangun infrastruktur publik, seperti sekolah, distribusi air bersih, rumah sakit, dll.
Karut-marutnya dana desa akan terus menjadi polemik selama sistem demokrasi kapitalisme tetap ada. Sistem ini memang membuka banyak celah korupsi. Karena merupakan lahan basah, aturan dan UU bisa direvisi sesuai kepentingan, dan belum ada penindakan yang tegas bagi korupsi. Dengan model pemilihan kepala desa yang sama seperti pilkada mengacu pada sistem demokrasi, tentu membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Cara yang paling instan dan mudah untuk mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi. Itulah sebabnya kasus korupsi tidak pernah bisa selesai tuntas.
Perspektif Islam
Desa adalah bagian wilayah daulah. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam dengan tugas pokok khalifah sebagai rain. Khalifah akan melaksanakan pembangunan secara merata di semua wilayahnya.
Pemerintahan Islam bersifat sentralisasi artinya penguasa wilayah, baik provinsi, kota/kabupaten diangkat oleh khalifah untuk menjalankan kebijakan negara. Tidak ada otonomi daerah atau desentralisasi sebagaimana praktik hari ini, termasuk dalam hal pengelolaan dana. Semua pembiayaan dan kebijakan wilayah harus diketahui dan mendapat persetujuan khalifah.
Negara akan menjalankan fungsinya secara optimal sebagai raa’in (pengurus), semua daerah akan berada dalam pantauannya. Dengan pejabat dan pegawai yang amanah, akan terwujud desa yang maju dan rakyat sejahtera sebagaimana di wilayah kota. Wallahualam bisawab.