
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Problem kekerasan terhadap perempuan di negeri ini masih belum terselesaikan, bahkan kasusnya makin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), sepanjang tahun 2024 kasus kekerasan tercatat 15.173 hingga 11 Agustus 2024. Korban kasusnya didominasi oleh perempuan, sebanyak 80,1%.
Kemenppa juga mencatat, kekerasan pada 2023 mencapai 29.883 dan yang menimpa pada perempuan sebanyak 26.161 kasus. Jumlah tersebut meningkat 4,4% dibandingkan pada 2022 yang tercatat 25.053 kasus. Bila dihitung lebih mundur, kekerasan pada perempuan pada 2023 melesat 53% dalam lima tahun terakhir.
Data tersebut menunjukkan bahwa pelaku terbanyak dalam kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah suami atau ayah, melainkan pacar/teman. Jumlah kekerasan yang dilakukan pacar/teman mencapai 2.686 atau setara dengan 22% dari total kasus. Oleh suami sebesar 2.378 kasus, orang tua 1723 kasus, keluarga atau saudara 818 kasus, tetangga 1146 kasus, guru 401 kasus.
Dari belasan ribu kasus kekerasan, yang dialami korban di antaranya kekerasan seksual 6.966 kasus, kekerasan fisik 5.222 kasus, kekerasan psikis 4.506 kasus, eksploitasi 184 kasus, trafficking 143 kasus, dan lainnya 1.772 kasus. (cnbcindonesia.com, 12/8/2024).
Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Fery Wira Padang berharap agar laporan data kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi data rujukan yang berkontribusi signifikan mendukung kerja advokasi guna memastikan negara hadir menyediakan layanan komprehensif bagi perempuan dan anak korban kekerasan (Antaranews.com, 13/8/2024)
Masih tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan ini tidak lepas dari adanya atmosfer kehidupan yang memicu terjadinya kekerasan. Atmosfer kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan sekuler kapitalisme. Pelaku kekerasan adalah orang yang berpikir kriminal dan jauh dari karakter takwa.
Banyaknya masyarakat yang berpikir kriminal menunjukkan gagalnya negara membangun karakter mulia dalam diri warga negaranya. Hal ini dipicu oleh sistem pendidikan sekuler yang menjadi corong penanaman pemikiran sekuler. Sekularisme yang merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan ini telah mendorong individu berbuat sesukanya, termasuk melakukan kejahatan demi memenuhi nafsu dan kesenangan pribadinya.
Selain itu, sistem sanksi yang berlaku pada pelaku kekerasan juga tidak mencerahkan. Pasalnya, tindakan kekerasan seolah dianggap biasa dan sering kali diabaikan. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus kekerasan yang tidak tuntas memberi keadilan pada korban. Bahkan, beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan baru ditangani setelah viral di media sosial. Hal ini menunjukkan tidak adanya keseriusan dari negara dalam menyelesaikan persoalan ini.
Belum lagi, pengaruh media yang berorientasi pada untung semata. Media kapitalis jauh dari unsur edukatif, tayangan atau tulisan apa pun boleh disebarluaskan selama dianggap memiliki peminat atau konsumen di pasaran, tak terkecuali tayangan yang mengandung kekerasan. Begitu pula di media sosial yang saat ini banyak digunakan masyarakat.
Sekalipun pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), juga Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) selama 20 tahun yang digadang-gadang mampu menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan, nyatanya kekerasan terhadap perempuan justru makin marak terjadi. Ini karena undang-undang tersebut sejatinya masih berasaskan sekularisme.
Karena sekuler, menolak agama mengatur kehidupan maka pasal-pasal yang terkandung di dalamnya tetap memberi peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya, tidak adanya pengaturan terkait larangan pacaran, zina yang sebenarnya merupakan tindak kejahatan.
Sejatinya sistem kapitalisme sekularisme ini hanya memandang perempuan sebagai objek eksploitasi. Karena iitu, sampai kapan pun, sistem kapitalisme pasti akan gagal memberi ruang aman bagi perempuan. Ini tentu berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam.
Penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah terbukti mampu menjamin kehormatan serta keamanan perempuan. Kemampuan ini lahir dari prinsip-prinsip Islam terkait dengan kepemimpinan. Salah satu di antaranya, penguasa dalam sistem Islam diposisikan sebagai perisai atau pelindung. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang Imam itu adalah perisai dia akan dijadikan perisai Di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, ketika memandang masalah perempuan, penguasa harus menempatkannya sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Allah telah menetapkan beberapa hukum agar kehormatan dan kemuliaan kaum perempuan terjaga. Hukum-hukum tersebut di antaranya: Islam melarang perempuan berdua-duaan dengan laki-laki tanpa ada mahramnya, bahkan menegaskan yang ketiganya adalah setan.
Laki-laki dan perempuan juga tidak boleh berinteraksi campur baur (ikhtilat) tanpa ada kebutuhan syar’i. Konsep ini akan menutup celah hubungan romansa yang tidak halal. Islam mewajibkan perempuan didampingi mahram ketika akan melakukan safar yang menempuh perjalanan lebih dari 24 jam. Perempuan juga diperintahkan untuk menutup aurat secara sempurna, yakni dengan menggunakan jilbab dan khimar (kerudung).
Negara Khilafah menerapkan sistem pendidikan Islam yang membentuk ketakwaan individu masyarakat, sehingga perilaku masyarakat dikontrol oleh pemahaman yang benar terhadap akidah dan syariat Islam. Tindakan maksiat (kejahatan) akan dijauhi, apa pun bentuknya.
Islam juga melarang media menayangkan unsur-unsur yang memicu kekerasan dan pornografi. Pemikiran Barat yang rusak dan merusak pun akan dilarang sejak awal kemunculannya. Konten media yang diperbolehkan adalah konten-konten edukasi ataupun menampilkan kemuliaan Islam.
Jika masih ditemukan pelaku kejahatan, termasuk pada perempuan, Islam menetapkan sanksi bagi para pelaku kemaksiatan tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan rasul-Nya. Sistem sanksi dalam Islam (uqubat) akan memberi efek jawabir (penebus dosa) bagi si pelaku dan efek jawazir (sebagai pencegah agar orang lain tidak ikut melakukan) pelanggaran tersebut. Demikianlah cara Islam melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Sungguh, hanya Khilafah yang mampu memberi rasa aman bagi perempuan.