
Oleh. Umi Hafizha
Linimasanews.id—Pengamat Politik Adi Prayitno menggunggah komentar terkait situasi Pilkada menjelang 2024. Adi yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini meyakini, prinsip utama politik adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya, mendapatkan kekuasaan dengan cara apa pun.
“Demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Persahabatan dikorbankan, pertemanan diingkari, berbohong dan ingkar janji menjadi perkara biasa. Bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri, semua demi keuntungan politik,” tutur Adi. Adi mengungkap, ini merupakan fenomena demokrasi el Sebab yang bisa menentukan seseorang bisa maju adalah murni kehendak elit partai (Liputan6.com, 12/8/2024).
Hal senada juga disampaikan oleh Peneliti Bidang Politik dari The Indonesia Institute (TII) Felia Primaresti, elite parpol cenderung memilih calon kepala daerah yang bisa melindungi atau memperkuat posisi mereka. Begitu juga kita tidak boleh melupakan bahwa politik itu memiliki konsekuensi pembiayaan yang sangat mahal. Menjadi masuk akal jika parpol bersikap pragmatis memiliki kandidat yang memiliki jaringan untuk pemenuhan kebutuhan pembiayaan tersebut (Tirto.id, 10/8/2024).
Analisis kondisi politik yang disampaikan oleh para ahli tersebut sesungguhnya merupakan bukti nyata kebobrokan sistem politik demokrasi. Kebobrokan ini tidak terlepas dari asas batil politik demokrasi yang memberikan kedaulatan hukum di tangan manusia. Konsekuensinya, politik dan jabatan dijadikan sebagai jalan meraih kekuasaan. Sebab, dengan kekuasaan, mereka bisa mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Akhirnya, kekuasaan menjadi tujuan.
Segala macam cara akan dilakukan, bahkan bisa menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan. Lebih kejinya lagi koalisi dibentuk dengan pertimbangan peluang kemenangan, meski berbeda ideologi, berbeda pandangan politik pada masa lalu dan sebagainya, sama sekali tidak ada kepentingan rakyat yang dibahas.
Demikian juga dalam pemilihan figur, semata-mata dengan perhitungan kemenangan, bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Tentu saja, kemenangan itu pasti disokong oleh dana besar untuk membeli suara rakyat. Karena itu, politik uang menjadi keniscayaan. Jika sudah terpampang jelas kebatilan, kebusukan, dan kebobrokan sistem demokrasi akankah sistem ini terus dipertahankan?
Padahal, di sisi lain ada sistem politik sahih bernama khilafah. Sistem politik ini berasal dari Rasulullah saw. manusia yang diberi petunjuk wahyu dari Allah Swt. Dalam sistem khilafah, politik (siyasiyah) itu memiliki makna riayah su’unil ummah (mengurus urusan umat). Makna politik Islam adalah mengatur urusan rakyat, baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan ajaran Islam.
Syaikh Ahmad ‘Athiyah mengatakan, politik bermakna memelihara, mengurus, dan memperhatikan urusan umat. Makna demikian dapat dipahami dari hadits Rasulullah saw., “Dahulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Apabila seorang nabi wafat, diutuslah nabi berikutnya, akan tetapi tidak ada bagi nabi setelahku. Namun, akan ada para Khalifah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra.).
Jika politik dibatasi dengan makna yang demikian, tentu kekuasaan yang ada digunakan untuk mengurus umat, bukan untuk mengurus kepentingan pribadi maupun kelompok sebagaimana yang terjadi saat ini.
Di sisi lain, Islam juga menetapkan bahwa kekuasaan digunakan untuk menerapkan syariat Islam secara kafah. Makna kekuasaan yang demikian dapat dipahami dari bagaimana perjuangan Rasulullah mendakwahkan Islam hingga beliau berhasil menerapkan syariat Islam secara kafah dan menjadi kepala negara di Madinah.
Jadi, politik dan kekuasaan dalam Islam memiliki makna khas, yakni terkait mengurus urusan umat sesuai syariat dan amanah untuk menerapkan hukum-hukum syariat secara menyeluruh. Maka dari itu, seorang penguasa harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu kekuatan, ketakwaan, dan lembut terhadap rakyat. Dengan kriteria ini, penguasa dalam Islam harus memiliki kapabilitas dan integritas. Karena itu, ia akan menjadi pengurus rakyat yang bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan rakyat dan mampu menyelesaikan berbagai problematika kehidupan berlandaskan syariat Islam.
Begitu jelas Islam menetapkan syarat terkait politik dan kekuasaan. Tidakkah umat, khususnya para politikus muslim tergerak untuk menyuarakan dan memperjuangkannya?