
Suara Pembaca
Pada Jumat 16 Agustus 2024, Presiden Jokowi mengusulkan target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun. Cukup mengejutkan, ini adalah kali pertama dalam sejarah bahwa target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp2.000 triliun. Jika tercapai, maka pemerintah dapat memiliki keleluasaan dalam menjalankan berbagai program yang akan direalisasikan di tahun depan (16/08/2024).
Tidak mengherankan jika pemimpin dalam sistem kapitalisme ini membuat target tinggi untuk penerimaan pajak. Pasalnya, sistem kapitalisme memiliki paradigma pembiayaan pembangunan bersumber dari pajak. Selain itu, utang juga menjadi sumber yang utama. Pajak yang dibebankan kepada rakyat tentu akan menambah beban mereka. Beban pajak berupa PBB, PPN, PPh, dll.
Di tengah kondisi ekonomi sulit, rakyat makin terimpit. Hal ini menjadi indikasi lepasnya tanggung jawab negara dalam melayani rakyat. Bahkan, mereka justru meminta dibiayai rakyat untuk melakukan pembiayaan penyelenggaraan negara.
Dalam Islam, paradigma pembangunannya adalah menunaikan amanah. Pemimpin bertanggung jawab mengurus rakyat karena negara sebagai raa’in. Negara Islam memiliki beragam sumber pemasukan, di antaranya dari pengelolaan SDA oleh negara. Islam memandang SDA adalah milik umum yang dapat digunakan untuk kepentingan rakyat secara umum. Jika hari ini pajak SDA menjadi sumber terbesar, dengan sistem Islam penerimaan dari SDA akan jauh lebih besar.
Islam memiliki mekanisme khusus terkait pajak, ditarik hanya saat tertentu pada orang yang kaya dari kaum laki-laki saja. Pajak dalam paradigma Islam sifatnya hanya alternatif saat dibutuhkan, bukan sebagai keharusan sebagaimana dalam paradigma kapitalisme yang justru membawa kesengsaraan.
Meivita Ummu Ammar
(Aktivis dakwah Ideologis)